Pertemuan
10
Shalat Dalam Perjalanan
Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang
tersebar di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk
menjama’ dan mengqashar shalat. Menjama’ adalah melakukan dua
shalat dalam satu waktu. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan di
waktu Zhuhur atau di waktu Ashar. Sedangkan mengqashar adalah mengurangi jumlah
rakaat shalat ruba'iyah (yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat.
Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan
ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal gabung atau asal mengurangi
begitu saja.
I. Shalat Jama'
Ada
dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua
disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat
pada waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja.
yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat
Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak
ada jama’ lainnya.
A. Hal-hal Yang Membolehkan
Jama'
Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki
atau naik kuda selama dua hari. Para ulama
kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di
waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar. Dengan
dalil :
إِنَّ
مِنَ السُنَّةِ إِذَا كَانَ يَوْمُ مُطِير أَنْ يجَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ
رواه
الأثرم
Sesungguhnya merupakan
sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR.
Atsram)
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang
menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi
كَانَ
النَّبِيَُ r جَمَعَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam
menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
B. Syarat Jama’ Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling
tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi,
tidak sah bila dilakukan jama’ taqdim.
1. Niat Sejak Shalat Yang
Pertama
Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat
Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah
berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini
masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan
berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai
salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan.
Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
2. Tertib
Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat
Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan
sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru
kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka
tidak sah hukumnya.
Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk
melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghirib.
Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
3. Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak
boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang
melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil
wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu
lama.
Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan
iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini
disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun
untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
4. Masih Berlangsungnya Safar
Hingga Takbiratul Ihram Shalat Yang Kedua
Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan
Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan
safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul hram shalat Isya'.
Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut
misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram
shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke
pelabuhan negeri kita.
B. Syarat Jama’ Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya
ada dua saja. Yaitu adalah :
1. Berniat Untuk Menmaja'
Ta'khir Sebelum Habisnya Waktu Shalat Yang Pertama
Misalnya kita berniat untuk menjama’ shalat Maghrib
dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk
berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu
harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
2. Safar Harus Masih
Berlangsung Hingga Selesainya Shalat Yang Kedua.
Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat
Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah
setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar,
maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena
itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan
sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu
Baru Maghrib?
Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat
Isya', tapi boleh bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila
dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak
memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu
masjid dimana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang
singgah mengerjakan shalat Maghrib
dengan berjamaah.
II. Shalat Qashar
Allah SWT berfirman di dalam Al-quran al-Kariem tentang
keringanan bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah
bilangan rakaat shalat. Pengurangan bilangan rakaat ini disebut juga dengan
istilah Qashr. Yaitu pada shalat fardhu yang jumlah rakaatnya empat dikurangi
menjadi dua rakaat. Sedangkan yang jumlahnya tiga rakaat (shalat Maghrib) dan
dua rakaat (shalat Shubuh) tidak ada pengurangan jumlah rakaat.
1. Dasar dari Al-Quran
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ
الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ
الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS.
An-Nisa : 110)
2. Dasar dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari ‘Aisah radhiyallahu
‘anhu berkata : “Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan
bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak
safar)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata:” Diwajibkan shalat 2
rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat
safar seperti semula (2 rakaat)” (HR Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan :
“Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari
dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut”
B. Kapankah Dibolehkan
Menjama` / Qashar Shalat?
Sebenarnya untuk membolehkan seseorang menjama` shalatnya,
ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Tidak sembarang keadaan bisa
membolehkan jama` shalat, sebab kewajiban shalat itu sudah memiliki waktu yang
tetap dan pasti. Dan dimana pun seorang muslim mendapatkan waktu shalat, maka
disitu dia bisa melakukan shalat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bentuk
ibadah ahli kitab yang diwajibkan untuk ibadah HANYA didalam rumah ibadahnya
yang khusus. Tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.
Buat umat Muhammad, bumi telah dijadikan suci, baik untuk
tayammum atau pun untuk melakukan shalat. Kapan pun seorang muslim mendengar Adzan,
pada prinsipnya dia bisa langsung mengerjakan shalat di tempat itu. Sebagaimana
hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ r
قَالَ وَجُعِلَتْ لِي اَلارْضُ مَسْجِدًا
وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلاةُ فَلْيُصَلِّ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,”Telah dijadikan bumi ini bagiku dan bagi umatku
sebagai masjid dan suci. Dimana pun umatku mendapatkan waktu shalat, maka dia
suci. (HR. Bukhari dan Muslim)
[1] Tidak ada air? Tayammum atau wudhu pakai air di botol
minuman kemasan.
[2] Tidak ada masjid/mushalla? Boleh di atas tanah, rumput,
trotoar, gang, gudang atau apapun.
[3] Baju kotor? Kotor itu bukan najis dan shalat tetap sah
walau baju kotor belepotan lumpur, oli, debu atau cat.
[4] Tidak ada waktu? Shalat itukan cuma beberapa gerakan
kecil yang paling panjang cuma 4 rakaat. Total waktu yang dibutuhkan per
rakaatnya kurang lebih satu menit. Jadi shalat yang paling panjang itu hanya
butuh maksimal 4 menit saja. Ini waktu yang lebih singkat dari menghabiskan
sebatang rokok, atau waktu yang lebih cepat dari berjalan bolak balik ke
toilet.
[5] Tidak mau? Nah inilah satu-satunya alasan untuk tidak
shalat atau untuk melalaikan kewajibannya.
Dengan demikian, hampir-hampir tidak ada alasan bagi setiap
muslim untuk tidak shalat atau mengabung-gabung shalatnya, selama kondisi masih
memungkinkan.
Diantara penyebab dibolehkannya jama` dan qashar adalah
safar adalah :
1. Bepergian atau safar
Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama
fiqih antara lain :
a.
Niat Safar
b.
Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu
4 burd (88, 656 km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.
c.
Keluar dari kota tempat tinggalnya
d.
Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
2. Sakit
Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan
sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari
mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama`
shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah
menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat
mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan[1].
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan
Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari
Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
Begitu juga dengan ibnul munzir yang menguatkan pendapat
dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin
memberatkan ummatnya”.
Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS.
Al-Hajj : 78)
لَيْسَ عَلَى الاعْمَى حَرَجٌ
وَلا عَلَى الاعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan” (QS. Annur
: 61)
3. Haji
Para jamaah haji
disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga
di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini :
Dari Abi Ayyub al-Anshari
ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` Maghrib dan Isya` di
Muzdalifah pada haji wada`. (HR. Bukhari 1674).
4. Hujan
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Madinah tujuh atau delapan ;
Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun
hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim)[2].
Dari Nafi` maula
Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib
dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi
Syaibah)[3].
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti
Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin
Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh
Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan
adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR.
Muslim)[4].
5. Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak
punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya.
Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah
disebutkan diatas.
Allah SWT berfirman :
“Allah tidak menjadikan
dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR.
Muslim)[5].
C. Jarak Dibolehkan Jama` /
Qashar
Para ulama berbeda pendapat
tentang kebolehan menjama` shalat dilihat dari segi batas minimal jarak
perjalanan.
1. Pendapat Pertama :
Imam Malik ra, Imam Asy-Syafi`i ra, Imam Ahmad bin Hanbal
ra. dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (4 farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 Farsakh itu
sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan
bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km[6].
2. Pendapat Kedua :
Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3
hari.
3. Pendapat Ketiga :
Sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti
yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun
jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan.
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar
dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya
bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? “Anas menjawab:”
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar menempuh jarak 3 mil
atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR
Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:” Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari
4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni)[7]
Dari Ibnu Syaibah
dari arah yang lain berkata:” Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari
semalam”.
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun
jarak 4 burd yaitu 16 farsakh”. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal
dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541
meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat
adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau
perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4
burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini
mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta
pengikut ketiga imam tadi.
Kesimpulan :
Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama’ shalat,
menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4
burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
C. Syarat Menjama` /
Mengqashar
Untuk dapat mengerjakan jama` dan qashar, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi. Yaitu :
1. Niat
Safar
2. Memenuhi
jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km )
3. Keluar
dari kota
tempat tinggalnya
4. Shafar
yang dilakukan bukan safar maksiat
Dengan demikian, maka para ulama mensyaratkan bahwa shalat
jama` dan qashar itu baru bisa dikerjakan bila telah melakukan perjalanan walau
belum mencapai jarak itu. Sebagian lagi memberi batasan asal sudah keluar
rumah.
D. Batasan Waktu Untuk Tetap
Menjama` / Mengqashar
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan
mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha.
Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa
berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka
selesailah masa jama` dan qasharnya.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa
masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari,
maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa
berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka
selesailah masa jama` dan qasharnya.
Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa
mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Ibnul Qoyyim berkata,
” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di
Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
Disebutkan Ibnu Abbas :”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di sebagian
safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua
rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR.
Bukhari) □
No comments:
Write komentar