Pertemuan
1
Pengertian Shalat dan Pensyariatannya
A. Pengertian Shalat
Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna
doa dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut ini.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ
لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka.
Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah
: 103)
Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam
makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.
Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai :
“serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.
B. Waktu Pensyariatan Ibadah Shalat
Sebelum shalat lima
waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah
shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.
Barulah pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali
dalam sehari semalam yang asalnya 50 kali. Persitiwa ini dicatat dalam sejarah
terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke
Madinah. Sebagaimana tertulis dalam hadits nabawi berikut ini :
فُرِضَتِ
الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ rلَيْلَةَ
أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ : إِنَّهُ لاَ يُبْدَلُ
القَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ
الْخْمْسِ خَمْسِيْنَ رواه أحمد والنسائي
والترمذي وصححه
Dari Anas bin Malik ra.
"Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada
malam beliau diisra`kan
50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan
,"Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi
mu dengan 50 kali shalat".(HR. Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh
At-Tirmizy)
Sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat
disyariatkan pada malam mi’raj, namun bukan 5 tahun sebelum hijrah,
melainkan pada tanggal 17 Ramadhan 1,5 tahun sebelum hijrah nabi.
C. Dalil-dalil Pensyariatan Shalat
Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari
Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ umat Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang
menolak kewajiban shalat kecuali orang-orang kafir atau zindiq.
Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban
shalat secara mutlak untuk semua orang yang mengaku beragama Islam yang sudah
akil baligh. Bahkan anak kecil sekalipun diperintahkan untuk melakukan shalat
ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak mau shalat usia 10
tahun, meski belum baligh.
1. Dalil dari Al-Quran
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kareim
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus."(QS. Al-Bayyinah : 5)
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ
جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي
هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ
هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah
menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS.
An-Nisa : 103)
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku".(QS. Al-Baqarah : 43)
Dan masih banyak lagi perintah di dalam kitabullah yang
mewajibkan umat Islam melalukan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah
dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna
"dirikanlah shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan
perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu pada surat :
§ Al-Baqarah
ayat 43, 83 dan110
§ Surat
An-Nisa ayat 177 dan 103
§ Surat Al-An`am ayat 72
§ Surat
Yunus ayat 87
§ Surat Al-Hajj : 78
§ Surat
An-Nuur ayat 56
§ Surat
Luqman ayat 31
§ Surat
Al-Mujadalah ayat 13
§ Surat
Al-Muzzammil ayat 20.
Ada 5 perintah shalat dengan lafaz "aqimish-shalata"
(أقم الصلاة)
yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan khithab hanya kepada
satu orang. Yaitu pada :
§ Surat
Huud ayat 114
§ Surat
Al-Isra` ayat 78
§ Surat
Thaha ayat 14
§ Surat
Al-Ankabut ayat 45
§ Surat
Luqman ayat 17.
2. Dalil dari As-Sunnah
Di dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
ada banyak sekali perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i
tentang kewajiban shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ
أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ rيَقُوْلُ
: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ
البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ رواه
البخاري و مسلم
Dari Ibni Umar radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Islam didirikan di atas lima
hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke
Baitullah bila mampu". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil dari Ijma`
Bahwa seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu
‘alaihi wasallam hingga hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban
shalat dalam agama Islam. Lima
kali dalam sehari semalam.
Dengan adanya dalil dari Quran, sunnah dan ijma` di atas,
maka lengkaplah dalil kewajiban shalat bagi seorang muslim. Maka mengingkari
kewajiban shalat termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan
bisa divonis kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya
kewajiban shalat.
D. Hukum Orang yang Meninggalkan
Shalat
Para ulama sepakat bahwa
seorang muslim yang sudah akil baligh bila meninggalkan shalat dengan
mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad (keluar) dari agama Islam,
sehingga halal darahnya. Pihak pemerintah Islam melalui mahkamah syar`iyah
berhak memvonis mati orang yang murtad karena mengingkari kewajiban shalat.
Namun bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai,
sementara dalam keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah
yang wajib dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga
vonis kafir tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena
seseorang baru saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka dakwah
Islam yang mengajarkan kewajiban shalat.
Secara duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau
mengerjakan shalat menurut para ulama antara lain :
1. Al-Hanafiyah
Menurut kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau
mengerjakan shalat hukumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan
keras hingga keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan
shalat. Bila tidak mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga mati.
Namun dia tidak boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari kewajiban shalat.
Seperti berkeyakinan secara sadar sepenuhnya bahwa di dalam Islam tidak ada
perintah shalat.
2. Ulama lainnya
Sedangkan para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada
seorang muslim yang malas tidak mau mengerjakan shalat tanpa ‘udzur syar`i,
maka dia dituntun untuk bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari.
Artinya bila selama tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan
shalat, maka hala darahnya dan boleh dibunuh.
3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah
Mereka mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena
dasar hudud (hukum dari Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga
orang itu tidak dianggap sebagai kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama
dengan seorang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka
ini wajib dihukum hudud meski statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun
tetap harus dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan Islam.
Jumhur ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan
shalat bukan karena jahd (sengaja tidak mengakui kewajiban shalat),
tidak dianggap orang kafir. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ
فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar.(QS. An-Nisa : 48)
Sedangkan imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang
meninggalkan shalat harus dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir.
Pendapat itu didasarkan pada firman Allah SWT :
فَإِذَا
انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ
سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka
bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha
Penyayang. (QS. At-Taubah : 5)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat
(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah
ini adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak
shalat hanya karena alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak
dianggap kafir. Barulah dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak atau tidak menerima adanya kewajiban shalat
dalam Islam.
E. Shalat Dalam Berbagai Kondisi
Shalat lima
waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah
telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan
rukhsah / keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya.
Namun rukhsah (keringanan) yang Allah berikan tidak
berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan
bila memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi
seseorang berada di tengah peradaban atau kota,
tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di tengah jalanan
yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman
kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung
yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan
air tidak dapat dibenarkan.
Begitu juga dengan menjama` shalat Maghrib dan Isya`. Waktu
Maghrib memang sangat sempit sehingga harus segera dikerjakan. Tetapi waktu
`Isya` sangat panjang hingga menjelang subuh. Karena itu tidak ada alasan untuk
menjama` shalat Isya` dengan Maghrib.
Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya
menjama` dua shalat yaitu bila dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan
dia masih dalam kategori bukan safar karena masih berada di dalam kota. Safar adalah
perjalanan keluar kota
yang secara jarak memang ada perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun
tidak dikatakan safar bila masih dalam kota
sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat.
Jadi yang harus diakukan adalah membuat perhitungan
bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam
perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk
mencari tempat shalat.
Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla,
tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa
terminal, emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dijadikan bumi ini
sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di muka
bumi.
Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa
bekal sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air
sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual
di jalan.
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang,
kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan shalat maghrib
di tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas
Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup
dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang.
No comments:
Write komentar