Sesungguhnya
Islam adalah agama yang suci dan bersih. Tidak ada satupun agama yang mengatur
tentang bersuci sebagaimana agama Islam.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang
mensucikan diri/ berthaharah.” (Al-Baqarah: 222)
Di dalam
kitab-kitab fiqih para ulama menempatkan pembahasan Bab Thaharah dalam bab
pertama, sebelum pembahasan yang lainnya. Maka dalam rubrik ini, kami juga akan
mengawali pembahasan tentang masalah Thaharah.
Makna Thaharah
Thaharah
menurut arti bahasa adalah pembersihan dari segala kotoran, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak. Adapun arti Thaharah secara syariat adalah meniadakan
atau membersihkan hadats dengan air atau debu yang bisa dipakai untuk
menyucikan. Selain itu bermakna juga, usaha untuk menghilangkan najis dan
kotoran. Disini bisa diambil pengertian akhir bahwa Thaharah adalah melenyapkan
sesuatu yang ada di tubuh yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan shalat dan
ibadah lainnya.
Pembagian Thaharah
Thaharah
terbagi menjadi dua macam yaitu: Thaharah Batin dan Thaharah Lahir.
Thaharah batin, yaitu Thaharah dari berbagai macam kemusyrikan dan kemaksiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan tauhid dan beramal shalih. Thaharah semacam ini lebih penting daripada Thaharah fisik. Sebab tidak mungkin Thaharah fisik ini akan bisa terwujud manakala masih adanya najis kemusyrikan. Allah berfirman:
Thaharah batin, yaitu Thaharah dari berbagai macam kemusyrikan dan kemaksiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan tauhid dan beramal shalih. Thaharah semacam ini lebih penting daripada Thaharah fisik. Sebab tidak mungkin Thaharah fisik ini akan bisa terwujud manakala masih adanya najis kemusyrikan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.”
(QS. At-Taubah: 28)
Sedangkan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari Muslim).
Maka
dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk membersihkan
hatinya dari najis kemusyrikan dan keragu-raguan. Yaitu dengan cara ikhlas,
bertauhid dan berkeyakinan serta bertekad untuk bisa membersihkan diri dan
hatinya dari kotoran-kotoran kemaksiatan, pengaruh-pengaruh iri, dengki, suap,
tipu daya, sombong, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua ini bisa dilakukan dengan
cara taubat yang sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat. Dan thaharah ini
merupakan sebagian dari iman.
Adapun
sebagian yang lainnya adalah thaharah fisik atau lahir. Thaharah fisik, yaitu
bersuci dari kotoran-kotoran dan najis-najis, dan thaharah ini adalah separuh
keimanan yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersuci itu separuh dari keimanan.”
Thaharah
macam kedua ini dilakukan menurut tata cara yang telah disyariatkan oleh Allah
yaitu dengan cara berwudhu’, mandi atau tayamum (ketika sedang tidak ada air),
serta membersihkan najis dari pakaian, badan, dan tempat shalat.
Thaharah
ini bisa dilakukan dengan dua hal:
Pertama: Thaharah dengan cara menggunakan air, dan inilah cara Thaharah yang
paling pokok. Oleh sebab itu, setiap air yang turun dari langit atau keluar
dari perut bumi adalah air yang menempati asal penciptaannya. Maka hukum air
tersebut adalah suci dan menyucikan dari segala hadats dan kotoran meskipun
sudah mengalami perubahan rasa atau warna atau baunya oleh sebab sesuatu yang
bersih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya
air itu dapat menyucikan. Yang tidak bisa dibuat najis oleh sesuatupun.”
(HR. Abu Dawud).
Di
antara macam-macam air tersebut adalah air hujan, mata air, air sumur, air
sungai, air lembah, air salju yang mencair, dan air laut. Sehubungan dengan air
laut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Air laut itu bisa menyucikan dan bangkainya
pun halal.” (H.R. Abu Dawud)
Adapun
berkenaan dengan air zam zam telah ditetapkan oleh suatu hadits dari Ali Radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meminta
dibawakan satu timba dari air zam zam, lalu air tersebut beliau pakai untuk
minum dan untuk berwudu. (HR. Imam Ahmad)
Akan
tetapi apabila air itu telah berubah warna, rasa, atau baunya yang disebabkan oleh
benda najis, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama, air itu pun najis yang
harus dihindari yang artinya tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.
Kedua: Thaharah dengan memakai debu yang suci. Thaharah ini merupakan
ganti dari thaharah dengan air oleh sebab tidak memungkinkan bersuci dengan
menggunakan air pada bagian-bagian yang harus disucikan atau karena tidak
adanya air, atau karena takut bahaya yang ditimbulkan jika menggunakan air
sehingga bisa digantikan dengan debu yang suci.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
(QS. An-Nisa’ : 43)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Bumi (mana saja) dijadikan sebagai
masjid, dan suci bagiku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan asal hadits ini dari
Shahih Al Bukhari dan Muslim).
Definisi Hadats dan Najis
·
Hadats adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak sah melakukan ibadah
tertentu seperti shalat; dapat dibedakan menjadi dua:
1. Hadats Kecil: segala sesuatu
yang membatalkan wudhu’, seperti kentut, kencing, buang air besar, dll.
2. Hadats Besar: sesuatu
yang menyebabkan mandi besar, seperti mimpi basah, bersetubuh, haidh, dan nifas.
·
Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri
(tubuh) manusia ataupun dari luar manusia, yang dapat menyebabkan tidak sahnya
badan, pakaian, atau tempat untuk dipakai beribadah; dapat dibedakan menjadi
tiga:
1. Najis Mukhaffafah (najis ringan):
misalnya air kecing bayi yang belum berumur 2 tahun dan belum makan apa pun selain
air susu ibu.
2.
Najis Mutawasithah
(najis sedang):
a.
Hukmiyah: benda suci yang terkena benda najis dan masih bisa
disucikan (dengan air, dll.).
b.
Ainiyah: benda yang pada asalnya dihukumi najis dan tidak bisa disucikan.
3. Najis Mughalladhoh (najis berat):
misalnya air liur/air kencingnya anjing atau babi, dan atau keturunanya.
Pembahasan dalam makalah ini akan memfokuskan
pada jenis thaharah fisik, yang meliputi wudhu’, mandi wajib (al-ghuslu),
dan tayammum.
BERWUDHU’
Pengertian Wudhu’
Secara bahasa
wudhu’ berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan.
Wudhu’ untuk sholat dikatakan sebagai wudhu’ karena ia membersihkan anggota
wudhu’ dan memperindahnya. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at,
wudhu’ adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan menggunakan
air yang suci dan mensucikan dengan cara yang tertentu di empat anggota
badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.
Adapun
sebab yang mewajibkan wudhu’ adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu’
atau mandi. Hadats terbagi menjadi dua macam: hadats besar, yaitu segala
yang mewajibkan mandi; dan hadats kecil, yaitu semua yang mewajibkan wudhu’.
Adapun
dalil wajibnya wudhu’ (apabila berhadats sebelum sholat) adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,

“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah : 6)
Fardhu Wudhu’
Fardhu
(rukun) wudhu’ ada 6 (enam), yaitu :
1. Membasuh muka (termasuk berkumur dan memasukkan dan mengeluarkan air
ke dan dari hidung)
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku,
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,
5. Tertib (berurutan),
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang
lain).
Sunnah Wudhu’
Yang
termasuk sunnah-sunnah wudhu’ adalah :
1.
Bersiwak sebelum berwudhu’
2.
Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali
3.
Bersungguh-sungguh dalam memasukkan air ke dalam
hidung kecuali bagi yang berpuasa
4.
Mendahulukan anggota wudhu’ yang kanan
5.
Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga
kali
6.
Menyela-nyela antara jari-jemari (tangan dan
kaki)
7.
Menyela-nyela jenggot yang lebat.
8.
Menyempurnakan wudhu’
Tata Cara Wudhu’
Adapun
tata cara wudhu’ secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam yang diriwayatkan dari Humraan, budak sahabat Utsman bin
Affan rodhiyallahu ‘anhu,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Humraan -bekas budak Utsman bin Affan-,
suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu’ (dengan wadahpent.),
kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia
membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya
ke dalam air wudhu’ kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan
beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian)
membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu
kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya
sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam berwudhu’ dengan wudhu’ yang semisal ini dan beliau shallallahu
‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu’ dengan wudhu’
semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.) dan ia
tidak berbicara di antara wudhu’ dan sholatnya maka Allah akan ampuni
dosa-dosanya yang telah lalu”(HR. Bukhari
- Muslim)
Dari
hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata
cara wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai
berikut,
- Niat berwudhu’ (dalam hati) untuk menghilangkan hadats
- Membaca basmallah
- Membasuh dua telapak sebanyak tiga kali
- Berkumur sebanyak tiga kali, menghirup air ke hidung (Istinsyaq) sebanyak tiga kali, dan menyemprotkan air (istin-tsar) dari hidung ke sebelah kiri
- Membasuh muka sebanyak tiga kali.
Batasan muka dimulai dari tumbuhnya rambut
kepala –menurut kebiasaan- hingga ke bagian ujung dua tulang rahang dan dagu.
- Membasuh dua tangan beserta siku sebanyak tiga kali.
Batasan tangan dimulai dari ujung jari-jari
tangan (berikut kuku-kukunya) sampai lengan atas. Sebelum kedua tangan dibasuh,
terlebih dahulu menghilangkan sesuatu yang melekat pada keduanya seperti lumpur
dan celupan yang tebal yang melekat pada kuku agar air sampai ke kulit.
- Menyapu seluruh kepala berikut dua telinga sebanyak satu kali sapuan dengan air yang baru dan bukan air dari sisa basuhan tangan.
Cara menyapu kepala ialah meletakkan kedua
tangan yang sudah dibasahi degan air yang baru pada bagian depan kepala, lalu
melintaskan keduanya sampai tengkuk lalu mengembalikan keduanya ke tempat
semula, lalu memasukkan dua jari telunjuk kedua lubang telinga dan menyapu
bagian luar telinga dengan dua ibu jari.
- Membasuh dua kaki beserta dua mata kaki sebanyak tiga kali.
Mata kaki ialah dua tulang yang menonjol pada
bagian bawah betis. Bagi orang yang tangan atau kakinya diamputasi, maka cukup
membasuh bagian yang tersisa dari siku atau kaki.
Setelah
selesai berwudhu’ dengan cara-cara tadi, maka arahkanlah pandangan ke langit
(atas) dan ucapkanlah doa, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah. Doa
yang dibaca Nabi setelah selesai wudhu’, diantaranya adalah:
Asyhadu
allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan
‘abduhu wa rasuuluh, allahummaj ‘alnii minattawwaabiinaa waj’alnii minal
mutathahhiriin. Subhaanakallahumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta,
astaghfiruka wa atuubu ilaik
“Aku
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa,
Yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai bagian dari golongan
orang-orang yang (selalu) bertobat serta jadikanlah aku sebagai bagian dari
golongan orang-orang yang selalu bersuci. Maha suci Engkau ya Allah. Dengan
memuji-Mu, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku
memohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.” (HR. Muslim, Tirmidzi)
Pembatal Wudhu’
Pembatal
pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut
Dalil
bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada
firman Allah Ta’ala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau
kembali dari tempat buang air (kakus).”(QS. Al Ma-idah : 6)
Yang
dimaksud dengan al ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah
yang rendah yang luas. Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk tempat
buang air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini.
Sedangkan
dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak) membatalkan wudhu
adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Shalat
seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada
orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu
Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,
فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Di
antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.”(HR. Bukhari
– Muslim).
Pembatal
kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna
putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak
memiliki bau yang khas.
Sedangkan
madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika
bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika
berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar
tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan
sama-sama bisa memiliki madzi.
Adapun
mani, sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, bisa dibedakan dari madzi
dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani yaitu:
[1]
baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika
kering,
[2] airnya
keluar dengan memancar,
[3]
keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas).
Jika
salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita
sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak
disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi
dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.
Wadi dan
madzi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk
zat yang suci. Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah
dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.
Jika
keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa membatalkan wudhu
berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang menyebabkan mandi
termasuk pembatal wudhu.
Adapun madzi
bisa membatalkan wudhu’, berdasarkan hadits tentang cerita ‘Ali bin Abi Tholib.
‘Ali mengatakan,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.
“Aku
termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikarenakan kedudukan anaknya
(Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad
untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau
memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya kemudian suruh ia
berwudhu”.”(HR. Bukhari – Muslim)
Sedangkan
wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Pembatal
ketiga: Tidur lelap (dalam keadaan tidak sadar)
Tidur
yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar.
Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu
jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti
inilah yang membatalkan wudhu’, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring,
ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam ini yang dianggap mazhonnatu lil
hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats.
Sedangkan
tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih
merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu.
Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.
Di
antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu
lagi.” (HR. Muslim)
Pembatal
keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila.
Ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran pada kondisi
semacam ini tentu lebih parah dari tidur.
Pembatal
kelima: Memakan daging unta.
Dalilnya
adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
“Ada seseorang yang
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku
mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika
engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak
berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu
setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus
berwudhu setelah memakan daging unta.”(HR. Muslim)
Inilah beberapa
hal yang disepakati sebagai pembatal wudhu’. Sebagian lainnya adalah pembatal
wudhu’ yang masih diperselisihkan di antara para ‘ulama.
MANDI WAJIB
Pengertian Mandi Wajib (Al-Ghuslu)
Yang
dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada
sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah
menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus untuk
menghilangkan hadats besar.
Beberapa Hal yang Mewajibkan untuk Mandi (al
ghuslu)
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat (junub).
Dalil
bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan
jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga
kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil
lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya
(mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim)
Juga
terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ummu
Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap
kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari -
Muslim)
Kedua: Bertemunya dua kemaluan (laki-laki dan perempuan), walaupun tidak
keluar mani.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika
seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi
istrinya,pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya
mandi.” (HR. Bukhari - Muslim)
Di dalam
riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun
tidak keluar mani.”
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil
mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
“Apabila
kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh
berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari -
Muslim).
Untuk
nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena
berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang
menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui
jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama
mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai
wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu
‘anhu,
أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Bahwasanya
dia (Qois) masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR.
An Nasa’i, At Tirmidzi, Ahmad).
Perintah
yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah
ushul, hukum asal perintah adalah wajib. ‘Ulama yang mewajibkan mandi ketika
seseorang masuk Islam di antaranya adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Kelima: Karena kematian.
Yang
dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya
orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama
menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah,
artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur
kewajibannya. Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati,
baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau
budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika
berperang dengan orang kafir.
Dalil
mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat
untuk memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah
dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari
itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus
(wewangian).” (HR. Bukhari - Muslim).
Rukun
Mandi
1. Niat mandi (dalam
hati) untuk menghilangkan hadats besar.
2. Hakikat mandi
adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah
yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan
tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian
beliau (Rasulullah) mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i)
Dalil
lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
Ia mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ
رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ
تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ
فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya
berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku,
apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan
(kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah
yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim)
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi
ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al
ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Tata
Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara
mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi
lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu
hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا
يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ
بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ،
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
“Dari ‘Aisyah, isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian
beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan
jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian
menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya
sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.”
(HR. Bukhari - Muslim)
Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ
مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ
بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ،
ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ
وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى
جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas (dia) berkata, bahwa Maimunah
mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci
keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau
menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci
kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian
beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh
muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan
mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu
mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari - Muslim)
Dari dua hadits di atas, kita dapat
merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci
tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan
dalam bejana atau sebelum mandi.
Kedua: Membersihkan
kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci
tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan
menggunakan sabun.
Keempat: Berwudhu
dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Kelima: Mengguyur
air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai
mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh:
Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ
قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ
غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya
dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan
menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata
mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali.
Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari)
Kedelapan: Mengguyur
air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى
شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika
bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari -
Muslim)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini
cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan
tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagaimanakah Tata Cara Mandi
pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama
dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan
dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang
wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika
mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu
mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan
air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim)
Untuk mandi karena haidh dan nifas,
tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal
berikut ini:
Pertama: Menggunakan
sabun dan pembersih lainnya beserta air.
Hal
ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ « تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا
فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ
دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا
الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ
أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ
بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ
الدَّمِ.
وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ
الْجَنَابَةِ فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ – أَوْ
تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى
تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ »
“Asma’
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita
haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil
air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya.
Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu
menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil
kapas bermisik, lalu bersuci dengannya“.
Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia bersuci dengannya
(kapas bermisik)?”
Beliau
bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.”
Lalu
Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas
darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”.
Dan
dia (Asma’) bertanya kepada beliau (Rasulullah) tentang mandi junub,
maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu
siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari - Muslim)
Kedua: Melepas
kepangan rambut sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil
hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا
شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian
hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya
dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.”
Dalil
tersebut menunjukkan bahwa pada mandi karena haidh tidak cukup dengan hanya
mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub
disebutkan,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ
شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
“Kemudian
kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai
dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”
Dalam
mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini
menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi
seusai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain
untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain
itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak
misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang
tidak enak karena bekas darah haidh. Dalilnya sebagaimana hadits ‘Aisyah
tentang pertanyaan Asma’ di atas.
TAYAMMUM
Pengertian
Tayammum
Tayammum secara bahasa
diartikan sebagai Al Qosdu (القَصْدُ) yang berarti maksud. Sedangkan secara istilah dalam
syari’at adalah sebuah peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan
kedua tangan dengan menggunakan sho’id yang bersih. Sho’id adalah
seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum, baik yang terdapat
tanah di atasnya ataupun tidak.
Dalil
Disyari’atkannya Tayammum
Tayammum disyari’atkan dalam Islam
berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin.
Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى
سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan
bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah
: 6).
Adapun dalil dari As Sunnah adalah
sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah
Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا
طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu
yang digunakan untuk bersuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air”. (HR. Muslim)
Alat
untuk Tayammum
Media (alat) yang dapat digunakan
untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang bersih, baik itu
berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat
Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,
جُعِلَتِ الأَرْضُ كُلُّهَا
لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً
“Dijadikan (permukaan, pent.)
bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam) dan
ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”(HR. Ahmad)
Jika ada orang yang mengatakan
bukankah dalam sebuah hadits dari Hudzaifah ibnul Yaman,
Nabi mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ash Shon’ani
rohimahullah, “Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah
pengkhususan”. Hal ini merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri
Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah.
Keadaan
yang Membolehkan Tayammum
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan
hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan
seseorang bersuci dengan tayammum,
- Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak.
- Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.
- Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit.
- Ketidakmampuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu sholat.
- Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut.
Tata
Cara Tayammum
Tata cara tayammum Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin Yasir rodhiyallahu
‘anhu,
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ
فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا »
. فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ
بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ
مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi was
sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku
tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya
hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan,
“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau
memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya.
Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan
tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan
tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (HR.
Bukhari – Muslim)
Dan dalam salah satu lafadz riwayat
Bukhori,
وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua
telapak tangannya dengan sekali usapan”.
Berdasarkan hadits di atas kita dapat
simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu ‘alaihi was sallam adalah
sebagai berikut.
- Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan, kemudian meniupnya.
- Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
- Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
- Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.
- Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja, atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu.
- Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.
- Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah (junub), demikian juga untuk hadats kecil.
Pembatal
Tayammum
Pembatal tayammum adalah sebagaimana
pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak dibolehkan lagi apabila dalam
kondisi berikut:
·
Telah
ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air,
·
Telah
adanya kemampuan menggunakan air,
·
Tidak
sakit lagi bagi orang yang bertayammum karena ketidakmampuan menggunakan
air.
Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya
yang telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ ،
فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ – وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ – فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا
طَيِّبًا ، فَصَلَّيَا ، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ ، فَأَعَادَ
أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ ، وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ
لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : أَصَبْت السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْك صَلَاتُك وَقَالَ
لِلْآخَرِ : لَك الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Dua orang lelaki keluar untuk safar.
Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian
keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat.
Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang
dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari
mereka berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi
shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan
menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam
mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu
lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”.
Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala”
(HR.
Abu Dawud, An Nasa’i).
Juga hadits Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
الصَّعِيدُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ ،
وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ.فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيُمِسَّهُ
بَشَرَتَهُ
“Seluruh permukaan bumi (tayammum)
merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak menemukan air selama
sepuluh tahun (sebagai kiasan, bukan pembatasan angka), apabila ia telah
menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat
untuk bersuci”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan selainnya).
---o0o---
Sumber
:
No comments:
Write komentar