Pertemuan
8
Shalat Berjamaah
Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah disyariatkannya
banyak bentuk ibadah dengan cara berjamaah, sehingga bisa menjadi representasi
sebuah muktamar Islam, dimana umat Islam berkumpul bersama pada satu tempat dan
satu waktu. Mereka bisa saling bertemu, bertatap muka, saling mengenal dan
saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan mereka bisa saling belajar atas apa
yang telah mereka pahami.
Allah telah memerintahkan umat Islam untuk berjamaah
terutama dalam beribadah kepada-Nya. Maka redaksional perintahnya pun datang
dengan bentuk jamak.
يَآيُّهَا
الذِّيْنَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الخَيْرَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah.
Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.(QS. Al-HAjj : 77-78)
Umat Islam berdiri di hadapan tuhan mereka pun secara
berjamaah, hal itu tercermin dalam ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah yang juga menggunakan kata
`kami`.
Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.(QS.
Al-Fatihah : 6-7)
A. Sejarah Shalat Jamaah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jamaah, namun siang
hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam
mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu memang
belum ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam rangka
shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu Jibril
shalat menjadi imam buat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menjadi imam buat para shahabat
lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi
dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau shallallahu
‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat
berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan
dikumandangkannya Adzan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal
radhiyallahu ‘anhu untuk berAdzan dengan sabdanya :
Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang
diperintahkan Abdullah bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya. (HR.
Bukhari)
B. Anjuran untuk Shalat
Berjamaah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalatnya
seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua
puluh tujuh kali`. (HR Muslim)[1]
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari[2]
dalam kitab adzan telah menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan
seseorang shalat berjamaah dengan yang shalat sendirian. Diantaranya adalah
ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal waktu, berjalannya
menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu
jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari
mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk bericadah,
adanya pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun
shalat, keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya.
Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat
dengan cara sendirian di rumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga
keterangan yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga
dibandingkan dengan shalat sendirian.
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih
banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap
puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya,
kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat
dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah
dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan kesalahannya
hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia
berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah berikanlah kasihmu
kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia...". (HR.
Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
Dari Abi Darda`
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi
tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah
kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari
kawanannya". (HR Abu Daud dan Nasai)[3]
Dari Ibnu Mas`ud
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang
meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal
kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR.
Muslim)
Dari Ibni Abbas
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk
shalat, maka tidak ada shalat baginya. Kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Ibnu
Majah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Al-Hakim)[4]
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)[5]
C. Siapakah Yang Disyariatkan
Untuk Shalat Jamaah
Telah disyariatkan untuk menjalankan shalat 5 waktu secara
berjamaah kepada orang-orang dengan kriteria berikut ini :
1. Muslim laki-laki, sedangkan wanita tidak wajib untuk
shalat berjamaah secara ijma`.
Shalat berjamaah hanya sunnah saja bagi wanita. Itupun bila
aman dari fitnah serta adanya jaminan terjaganya adab-adab mereka untuk pergi
ke masjid.
2. Merdeka, sedangkan budak tidak diwajibkan untuk shalat
berjamaah.
3. Orang yang tidak punya halangan / uzur syar`i.
4. Hanya untuk shalat fardhu yang 5 waktu saja,
Sedangkan shalat jamaah lainnya yang hukumnya sunnah tidak
wajib dihadiri. Seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` atau
shalat gerhana matahari dan bulan.
D. Kapan Seorang Masbuq
Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah yang afdhal adalah dilakukan bersama imam
sejak mula sebelum imam memulai shalat. Bahkan sejak mendengar panggilan Adzan.
Namun bila ada seorang masbuq (yang munyusul) sebuah shalat berjamaah, sampai
batas manakah dia masih bisa mendapat shalat berjamaah dan keutamaannya?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa minimal seorang makmum harus mendapatkan satu rakaat sempurna
bersama imam. Sedangkan yang lain mengatakan minimal seorang makmum ikut satu
kali takbir bersama imam. Lebih dalam lagi kammi uraikan berikut ini.
1. Pendapat Pertama : minimal
ikut satu rakaat terakhir
Sebagian ulama mengatakan bahwa bila makmum itu masih bisa
ikut satu rakaat penuh bersama imam, maka dia termasuk mendapatkan shalat
berjamaah. Diantara yang berpendapat demikian seperti para ulama di kalangan
mazhab Al-Malikiyah, Al-Ghazali dari kalangan mazhab Asy-Syafi`iyah, sebuah
riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal, zahir pendapat Ibnu Abi Musa, Ibnu
Taymiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab serta Syeikh Abdurrahman bin
As-Sa`di.
Adapun dasar pendapat mereka antara lain dalil-dalil berikut
ini:
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia mendapatkan
shalat`.(HR. Bukhari 1/145 Muslim 1/423 dan lafazh hadits ini oleh Muslim).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang
mendapatkan satu rakaat dalam shalat jumat atau shalat lainnya, maka dia mendapatkan
shalat`.(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)[6]
Ibnu Taymiyah menambahkan bahwa bila seorang makmum ikut
sebuah shalat jamaah tapi kurang dari satu rakaat bersama imam, tidak bisa
dikatakan telah ikut shalat jamaah. Sebab gerakan yang kurang dari satu rakaat
tidak bisa dihitung sebagai rakaat shalat, sehingga bila makmum hanya
mendapatkan kurang dari satu rakaat bersama imam, yaitu baru masuk ke dalam
shalat setelah imam bangun dari ruku` pada rakaat terakhir, maka dia dianggap
tidak mendapatkan shalat jamaah, meski pun pada gerakan terakhir sempat shalat
bersama imam.
2. Pendapat Kedua : minimal
ikut satu takbir terakhir
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa bila makmum masih
mendapatkan satu takbir terakhir sebelum imam mengucapkan salam, maka dia
mendapatkan shalat berjamaah.
Yang berpedapat seperti ini antara lain adalah ulama
kalangan Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah serta riwayat yang masyhur dari Imam
Ahmad bin Hanbal beserta para murid beliau. (lihat kitab Hasyiatu Ibnu Abidin
jilid 2 halaman 59, kitab Al-Majmu` jilid 4 halaman 151 serta kitab Al-Inshaf
jilid 2 halaman 221).
Adapun dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah
hadits-hadits berikut ini :
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Bila kalian menjalankan shalat janganlah mendatanginya dengan
berlari, tapi berjalan saja. Kalian harus melakukannya dengan sakinah (tenang),
apa yang bisa kamu dapat lakukanlah dan apa yang tertinggal sempurnakanlah.`(HR.
Muslim)[7].
Dari hadits ini bisa dikatakan bahwa siapa yang ikut shalat
jamaah pada saat imam sedang sujud atau duduk tasyahhud akhir,
disebutkan telah mendapatkan shalat berjamaah, tinggal dia menggenapkan apa-apa
yang tertinggal. Karena itulah bila dia masih mendapatkan satu kali takbir imam
yang terakhir sebelum salam, yaitu takbir ketika bangun dari sujud terakhir
sebelum tasyahhud akhir, maka dia dikatakan sudah ikut shalat jamaah.
E. Hukum Shalat Berjamaah
Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum
shalat berjamaah. Ada
yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah
berdosa. Ada
yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah
kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah
hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah
muakkadah.
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta
dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama : Fardhu
Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu
Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1
halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau
(mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat
kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah
ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya.
Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka
berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah
bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi
disebutkan bahwa :
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat
Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang
paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan
hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas
adalah :
Dari Abi Darda`
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi
tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah
kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari
kawanannya". (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad
yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,`Kembalilah kalian kepada
keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan
perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah
seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua menjadi imam.(HR.
Muslim 292 - 674)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim 650,249)
Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i
mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain
dengan berdasarkan hadits ini[8].
2. Pendapat Kedua : Fardhu
`Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah,
Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah
dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan
tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia
mendatanginya untuk shalat.[9]
Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari Aisah
radhiyallahu ‘anhu berkata,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya
(dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya[10].
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat
jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap sah.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan,
lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku
dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak
ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)[11].
3. Pendapat Ketiga : Sunnah
Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan
Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani[12].
Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat
berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa
hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu
tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat
berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya
kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah
tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah
muakkadah itu sama dengan wajib[13].
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah
dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain
shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah[14].
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan
secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah[15].
Ad-Dardir berkata bahwa shalat fardhu
dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah[16].
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain
adalah dalil-dalil berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)[17]
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40
menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil
bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini :
Dari Abi Musa radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda,`Sesungguhnya orang yang
mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya.
Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang
yang shalat sendirian kemudian tidur. [18]
4. Pendapat Keempat : Syarat Sahnya
Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum
syarat fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi
mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan
berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu
Taymiyah dalam salah satu pendapatnya[19].
Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi
Musa serta mazhab Zhahiriyah[20].
Termasuk diantaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu
Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAw bersaba,`Siapa yang mendengar adzan tapi
tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada
uzur.(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)[21]
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)[22]
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata,"Ya Rasulullah,
tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya,`Apakah kamu
dengar adzan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Muslim)
Kesimpulan :
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan
dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat
menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh
lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat.
Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara
shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.□
[1]
kitab
al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 650
[2]
Fathul Bari jilid 2 halaman 133
[3]
Abu
Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan
[4]
(HR.
Ibnu Majah 793, Ad-Daruquthuni 1/420, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/245 dan
sanadnya shahih).
[5]
Bukhari
644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
[6] Sunan Ibnu Majah 1/202,
Sunan An-Nasai 3/112, Sunan Ibnu Khuzaemah 3/173, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
1/291 menshahihkan hadits ini hadits ini
dari tiga jalannya.
[7]
Shahih Muslim jilid 1 halaman 420
[8]
kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160
[9]
lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50
[10]
Al-Muqni` 1/193
[11]
Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224; Shahih Muslim 651 dan lafaz hadits ini
darinya
[12]
Nailul Authar jilid 3 halaman 146
[13]
kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76
[14]
Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
[15]
lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah halaman 83
[16]
kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244
[17]
Shahih Muslim 650, 249
[18]
lihat
Fathul Bari jilid 2 halaman 278
[19]
Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333
[20]
Al-Muhalla jilid 4 halaman 265
[21] Sunan Ibnu Majah 793, Sunan Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan
Al-Hakim 1/245
[22]
Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224 Shaih Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
No comments:
Write komentar