Pertemuan
9
Shalat Jumat
A. Pensyariat Shalat Jumat
Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem,
As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma` (kesepaktan) seluruh ulama. Sehingga
siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir karena
mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Pensyariatan Oleh al-Quran
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di
dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah. Disana
Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai
bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS.
Al-Jumu’ah : 9)
2. Pensyariatan Oleh As-Sunnah
Ada
banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah
hadits berikut ini :
وَعَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi
setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1]
Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu
Daud)[1]
مَنْ
تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang meninggalkan
3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu
Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas
mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau
Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang
yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum’at
termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam
kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim [2]
berkata: “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat
Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan
penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang
yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk
mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang
munkar”.
B. Yang Diwajibkan Atasnya
Untuk Shalat Jumat
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat Islam,
dengan kriteria sebagai berikut :
1.
Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan
untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya
telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
2.
Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak
wajib shalat jumat.
3.
Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak
wajib shalat jumat.
4.
Mukimin yaitu orang yang menetap bukan musafir
atau yang sedang dalam perjalanan.
5.
Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda
pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
Demkian dijelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu
Rusyd Al-Hafid pada jilid 1 hal 380. Sehingga orang-orang berikut ini yang
telah disebutkan dalam nash sebagai pengecualian. Mereka ini tidak diwajibkan
shalat jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu :
§ Para budak
§ Wanita
§ Anak-anak
§ Orang
Sakit
§ Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah disebutkan di atas,
yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban
bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang.
[1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu
Daud)[3]
C. Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di dalam masjid
atau di dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang pasir, pedalaman atau tempat-tempat
yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu,
orang-orang yang tinggal di badiyah (luar kota)
harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk bisa ikut shalat Jumat. Sebab
shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar wilayah pemukiman yang dihuni
masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat
Jumat dimanapun[4].
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh sedangkan
jumlah orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung lagi, boleh
membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara statistik,
jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat seluruh kaum
muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan besar adalah kurangnya
kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan shalat berjamaah. Jadi memang
jumlah masjid itu kurang cukup dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat shalat
jumat, asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang
pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak ‘disulap’ menjadi
masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian pendapat,
tempat itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid. Karena itu
berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila ada pendapat
yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak mutlak
kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan mashlahat dan
kepentingan umat.
D. Jumlah Minimal Jama`ah
Jum`at
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak
ada 15 pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah jamaah dalam
shalat Jumat[5].
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan berati setiap
beberapa orang boleh menyelenggarakan sendiri-sendiri dengan 2 atau 3 orang.
Bukan demikian pengetianya, tetapi bila memang tidak ada lagi orang muslim
lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapa bahwa shalat Jum’at boleh
dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang mendengarkan khutbah
tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan
pendapat sebagian ulama[6].
Pandangan Para Imamm Mazhab Atas Hal Ini
1. Pendapat Kalangan
Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk sahnya
shalat jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat
dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa yang bisa
dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat
itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting
jumlahnya tiga orang selain imam / khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash
dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu
dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa
disebut jama’ adalah tiga orang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS.
Al-Jumu’ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40
orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama’.
2. Pendapat kalangan
Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah
bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu
peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan
kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang berkhutbah
sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ
لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ
مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri . Katakanlah:
`Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan`, dan Allah
Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu’ah : 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih
tetap berada dalam shaf shalat Jum’at itu itu dianggap sebagai syarat minimal
jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak
menggantinya menjadi shalat zhuhur.
3. Pendapat kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah
shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang
ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ جَابِرٍ t قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا
جُمُعَةً رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam shalat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR.
Ad-Daruquthuny)[7].
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang
menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat
dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40
orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah shalat jumat hanya
bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi
peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa
satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah
mereka 40 orang.
Bahkan mereka menambhakan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa
keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga
akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat yang
keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat itu.
Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun
shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu
harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan
karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal
di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir),
Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jumat, sehingga
keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta
shalat jumat.
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan
kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi
jumlah minimal.
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak
tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh,
sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak
berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
E. Bila Tertinggal Shalat
Jumat
Para ulama telah bersepakat
bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat
rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan
masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu
rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu
dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat
kedua tapi belum lagi bangun dari ruku‘. Maka bila makmum itu masih sempat
ruku‘ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam
hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi
bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu
rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku‘ di
rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang
harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk
shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam
sudah i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus
takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya
adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk
shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ
الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah ra.“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama
imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits
Muttafaq Alaihi)[8].
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ r مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاةِ اَلْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ
إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاتُهُ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ
مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَاللَّفْظُ لَهُ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ, لَكِنْ
قَوَّى أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau
shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat)
shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)[9]
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang
senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya. □
[1]
Imam
An-Nawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu
Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang
[2]
Salah satu kitab penjelasan Shahih Muslim. Penjelasan ini pada jilid III
halaman 265
[3] Imam An-Nawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari
Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya
satu orang
[4]
Di dalam kitab Nailul Authar jilid 2 halaman 498-499. Haditsnya diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah. Imam Ahmad bin Hanbal mengomentari hadits ini bahwa
isnadnya baik (jayyid)
[5]
Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 288. As-Sayyid Sabiq sebenarnya mengutip dari
kitab Fathul Bari
karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
[6]
Al-Ikhtiyaarot Al-Fiqhiyyah Min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah/ Al-Ba’ly
hal 145-146
[7]
dengan
isnad yang lemah
[8]
Shahih Bukhari 580, Shahih Muslim no. 607
[9]
Lafadz ini oleh Ad-Daruquthuni. Isnad hadits ini shahih, namun Abu Hatim
menguatkan ke-irsalannya.
No comments:
Write komentar