Pertemuan
4
Syarat-syarat Shalat
Syarat shalat adalah hal yang harus terpenuhi untuk sahnya
sebuah ibadah shalat. Syarat ini harus ada sebelum ibadah shalat dilakukan.
Bila salah satu dari syarat ini tidak terdapat, maka shalat itu menjadi tidak sah
hukumnya.
Syarat shalat itu ada dua macam. Pertama, syarat wajib.
Yaitu syarat yang bila terpenuhi, maka seseorang diwajibkan untuk melakukan
shalat. Kedua, syarat sah. Yaitu syarat yang harus terpenuhi agar ibadah
shalat itu menjadi sah hukumnya.
A. Syarat Wajib
Bila semua syarat wajib terpenuhi, maka wajiblah bagi
seseorang yang telah memenuhi syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat.
Sebaliknya, bila salah satu dari syarat wajib itu tidak terpenuhi, maka dia
belum diwajibkan untuk melakukan shalat.
Adapun yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah
hal-hal berikut ini.
1. Beragama Islam
Seseorang harus beragama Islam terlebih dahulu agar punya
beban kewajiban shalat. Selama seseorang belum menjadi seoarang muslim, maka
tidak ada beban kewajiban shalat baginya.
Tidak ada konsekuensi hukuman buat non muslim bila tidak
mengerjakan shalat di dunia ini. Namun meski demikian, di akhirat nanti dia
tetap akan disiksa dan dibakar di neraka. Sedangkan seorang muslim bila tidak
shalat, selain disiksa di akhirat, di dunia ini pun harus dijatuhi hukuman oleh
pemerintah Islam atau mahkamah syar`iyah. Itulah yang membedakan antara
kewajiban shalat seorang muslim dengan non muslim.
Namun bila ada seorang kafir yang masuk Islam, tidak ada
kewajiban untuk mengqadha` shalat yang selama ini ditinggalkannya. Hal itu
berdasarkan firman Allah SWT :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ
يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ
سُنَّةُ الاوَّلِينَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : "Jika mereka
berhenti , niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang
sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah
orang-orang dahulu ".(QS. Al-Anfal : 38)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam haditsnya :
عَن
عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ t أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَه رواه
أحمد
Dari Amru bin al-Ash
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Keislaman seseorang akan menghapus semua dosa sebelumnya". (HR.
Ahmad, At-Tabarany dan Al-Baihaqi).
Namun sebaliknya, bila ada seorang muslim murtad dari agama
Islam. Lalu masuk lagi ke dalam agama Islam, maka shalat yang pernah
ditinggalkannya wajib digantinya dengan qadha`. Sebagai hukuman untuknya dan
juga karena kekufurannya sesaat itu tidak lah menggugurkan kewajibannya kepada
Allah. Persis seperti hutang seseorang kepada sesama manusia. Tetap wajib
dibayarkan meski seseorang murtad dari Islam.
Namun menurut pendapat kalangan Al-Hanafiyah, orang yang
murtad tidak wajib untuk mengqadha` shalat yang ditinggalkannya, lantaran pada
hakikatnya dia adalah seorang non muslim yang tidak wajib shalat.
2. Baligh
Seorang anak kecil yang belum mengalami baligh tidak wajib
shalat. Dasarnya adalah sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا عَنْ اَلنَّبِيِّ r
قَالَ: رُفِعَ اَلْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ: عَنِ اَلنَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ,
وَعَنِ اَلصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنِ اَلْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ
يَفِيقَ رَوَاهُ
أَحْمَدُ
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu
dan Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Pena telah diangkat dari tiga orang, dari seorang yang tidur
hingga terjaga, dari seorang anak kecil hingga mimpi dan dari seorang gila
hingga waras "(HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Hakim)
Meskipun demikian, seorang anak kecil yang belum baligh
tetap dianjurkan untuk diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun.
Dan boleh dipukul bila masih belum mau mengerjakannya setelah berusia 10 tahun.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ
عَمْرُو بْنِ شُعَيبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ r مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ
عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فيِ المَضَاجِعِ رواه
أحمد وأبو داود
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Perintahkanlah anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun dan
pukullah pada usia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka (anak-anak laki
dan anak-anak perempuan)".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim)
Namun perintah ini bukan untuk anak melainkan kepada para
orang tua, yakni mereka diwajibkan untuk memerintahkan anaknya shalat pada usia
7 tahun. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ
لِلتَّقْوَى
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah
yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat itu adalah bagi orang yang
bertakwa.".(QS. Thaha : 132)
3. Berakal
Orang yang tidak waras seperti gila, ayan dan berpenyakit
syaraf tidak wajib mengerjakan shalat. Sebab orang yang demikian tidak sadar
diri dan tidak mampu berpikir. Maka tidak ada beban kewajiban beribadah atas
dirinya. Kewajiban shalat hanya ada pada saat mereka sadar dan waras, dimana
terkadang memang seseorang tidak selamanya gila atau hilang akal. Namun begitu
ketidak-sadaran atas dirinya datang, maka dia tidak wajib mengerjakan shalat.
Menurut jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat
hilang kewarasannya, begitu sudah kembali ingatannya tidak wajib mengqadha`
shalat. Namun hal itu berbeda dengan pendapat kalangan Al-Hanafiyah yang justru
mewajibkannya mengqadha` shalat.
Sedangkan bila hilang akal dan kesadaran karena seseorang
mabuk, maka dia wajib mengqadha` shalatnya, karena orang yang mabuk tetap wajib
shalat. Demikian juga hal yang sama berlaku pada orang yang tidur, begitu dia
bangun, wajiblah atasnya mengqadha` shalat yang terlewat. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا
إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang lupa shalat hendaklah segera shalat begitu ingat. Tidak ada kaffarah atasnya
kecuali hanya melakukan shalat itu saja".(HR.
Bukhari dan Muslim)
Tiga hal di atas adalah syarat-syarat wajib shalat, dimana
bila syarat itu terpenuhi pada diri seseorang, wajiblah atasnya untuk melakukan
shalat.
B. Syarat Sah Shalat
Sebagaimana dijelaskan di atas, syarat sah shalat
adalah hal-hal yang harus terpenuhi sebelum seseorang mengerjakan shalat agar
shalatnya menjadi sah hukumnya. Diantaranya adalah :
1. Mengetahui Bahwa Waktu
Shalat Sudah Masuk
Bila seseorang melakukan shalat tanpa pernah tahu apakah
waktunya sudah masuk atau belum, maka shalatnya itu tidak memenuhi syarat.
Sebab mengetahui dengan pasti bahwa waktu shalat sudah masuk adalah bagian dari
syarat sah shalat.
Bahkan meski pun ternyata sudah masuk waktunya, namun
shalatnya itu tidak sah lantara pada saat shalat dia tidak tahu apakah sudah
masuk waktunya atau belum.
Tidak ada bedanya, apakah seseorang mengetahui masuknya
shalat dengan yakin atau sekedar berijtihad dengan dasar yang kuat dan bisa
diterima.
Dasar keharusan adanya syarat ini adalah firman Allah SWT :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS.
An-Nisa : 103)
2. Suci dari Hadats Besar dan
Kecil
Hadats besar adalah haidh, nifas dan janabah. Dan untuk
mengangkat / menghilangkan hadats besar harus dengan mandi janabah. Sedangkan
hadats kecil adalah kondisi dimana seseorang tidak punya wudhu atau batal dari
wudhu`nya. Dan untuk mengangkat hadats kecil ini bisa dilakukan dengan wudhu`
atau bertayammum. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْوَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.. (QS.
Al-Maidah : 6)
Selain itu ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berikut ini :
عَنِ
ابنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ الله r قاَلَ : لاَ يَقْبَلُ الله
صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat tanpa
thaharah".(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُول الله r قَال : لاَ يَقْبَلُ الله
صَلاَة امرِءٍ مُحْدِثٍ حَتَّى يَتَوَضَأ
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Allah tidak menerima shalat seorang kamu bila berhadats sampai
dia berwudhu`"(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan
Tirmizy).
3. Suci Badan, Pakaian dan
Tempat Shalat Dari Najis
Tidak sah seseorang shalat dalam keadaan badannya
terkena najis, atau pakaiannya atau tempat shalatnya. Sebelum berwudhu, wajiblah
atasnya untuk menghilangkan najis dan mencucinya hingga suci. Setelah barulah
berwudhu` untuk mengangkat hadats dan mulai shalat. Dalil keharusan Sucinya badan
dari najis adalah
###
"Bila kamu mendapat
haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan bila telah usai haidh, maka cucilah darah
dan shalatlah".(HR. Bukhari dan Muslim)
§ Dalil
keharusan sucinya pakaian dari najis adalah firman Allah SWT :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu, bersihkanlah".(QS.
Al-Muddatstsir : 4)
Ibnu Sirin mengatakan bahwa makna ayat ini adalah perintah
untuk mencuci pakaian dengan air.
§
Dalil keharusan sucinya tempat shalat dari najis
Hadits yang menceritakan seorang arab badawi yang kencing di
dalam masjid. Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan
untuk menyiraminya dengan seember air.
"Siramilah pada bekas kencingnya
dengan seember air".(HR. )
4. Menutup Aurat
Tidak sah seseorang melakukan shalat bila auratnya
terbuka, meski pun dia shalat sendirian jauh dari penglihatan orang lain. Atau
shalat di tempat yang gelap tidak ada sinar sedikitpun.
Dalil atas kewajiban menutup aurat pada saat melakukan
shalat adalah firman Allah SWT berikut ini :
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ
عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid ,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.".(QS.
Al-A`raf : 31)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa yang
dimaksud dengan perhiasan dalam ayat ini maksudnya adalah pakaian yang menutup
aurat.
Selain itu ada hadits nabi yang menegaskan kewajiban wanita
memakai khimar pada saat shalat.
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ
حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ رواه الخمسة إلا النسائي
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,"Tidak sah shalat seorang wanita yang sudah mendapat
haidh kecuali dengan memakai khimar.(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai).
Khimar adalah kerudung yang menutup kepala seorang wanita.
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Asma`,
bila seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali
ini dan ini". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk kepada
wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Abu Daud - hadits mursal).
Kewajiban menutup aurat ini berlaku bagi setiap wanita yang
sudah haidh baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Kecuali di dalam
rumahnya yang terlinding dari penglihatan laki-laki yang bukan mahramnya.
5. Menghadap ke Kiblat
Tidak sah sebuah ibadah shalat manakala tidak
dilakukan dengan menghadap ke kiblat. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا
مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan dari mana saja kamu, maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku . Dan agar Ku-sempurnakan ni'mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat
petunjuk.(QS. Al-Baqarah : 150)
Pengecualian
Namun syarat harus menghadap ke kiblat ini tidak mutlak,
karena masih ada beberapa pengecualian karena ada alasan yang memang tidak
mungkin dihindari.
Pertama : shalat khauf
Dibolehkan tidak menghadap kiblat pada saat shalat khauf,
yaitu shalat yang dilakukan pada saat perang menghadapi musuh. Maka bolehlah
tidak menghadap kiblat tetapi malah menghadap ke arah dimana musuh berada.
Kebolehan ini karena memang telah dilakukan di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan telah dijelaskan teknisnya dalam hadits-hadits nabawi.
Kedua : shalat nafilah
Boleh tidak menghadap kiblat` pada saat shalat sunnah
(nafilah) di atas kendaraan. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melakukannya.
عَنْ
عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ رواه
البخاري ومسلم ، وزاد البخاري : يُوْمِئُ والترمذي : وَلمَ
يَكُنْ يَصْنَعُهُ فيِ المَكْتُوبَةِ
Dari Amir bin Rabiah
radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat di atas untanya dengan menghadap kemana pun arah untanya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari menambahkan : “beliau membungkuk (saat rukuk dan
sujud)”. At-Tirmizy berkata,”Namun beliau tidak melakukanya pada shalat wajib”.
Ketiga : dalam keadaan sakit
Al-Malikiyah dan Al-Hanafiyah memberikan kelonggaran lainnya
yaitu bila seseorang dalam keadaan sakit yang parah dan membuatnya tidak bisa
berubah posisi menghadap ke kiblat. Pada kondisi demikian, maka dibolehkan
baginya shalat menghadap kemana saja yang dia mampu melakukannya.
Keharusan Berijtihad
Bila seseorang tidak tahu kemana arah kiblat, maka wajiblah
baginya mencari tahu sebisanya dan berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam
mendapatkan informasi tentang arah kiblat. Meski pun hasilnya bisa berbeda-beda
karena minimnya informasi. Hal itu tidak mengapa asalkan sudah berijtihad
sebelumnya. Sebab dahullu para shahabat pernah mengalami kejadian dimana mereka
shalat pada malam yang sangat gelap tanpa sinar sedikitpun dan juga tidak tahu
arah kiblat. Lalu akhirnya mereka shalat menghadap ke arah apa yang mereka
hayalkan saja. Saat Rasulullah diberitahu hal itu, beliau membaca firman Allah
SWT :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 115)□
No comments:
Write komentar