Pertemuan
5
Rukun-rukun Shalat
Rukun adalah pondasi atau tiang pada suatu banguna. Bila
salah satu rukunnya rusak atau tidak ada, maka bangunan itu akan roboh. Bila
salah satu rukun shalat tidak dilakukan atau tidak sah dilakukan, maka
keseluruhan rangkaian ibadah shalat itu pun menjadi tidak sah juga.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah
perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian
ibadah. Sedangkan syarat adalah gerakan ibadah yang wajib dilakukan namun bukan
bagian dari rangkaian gerakan ibadah.
A. Perbedaan Ulama Dalam
Menentukan Rukun Shalat
Para ulama mazhab yang
paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi
bagian dari rukun shalat.
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun
shalat hanya ada 6 saja. Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun shalat
ada 14 perkara. As-Syafi`iyah menyebutkan 13 rukun shalat dan Al-Hanabilah
menyebutkan 14 rukun.
Untuk lebih jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut ini
yang kami buat berdasarkan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya
Dr. WAhbah Az-Zuhaily.
Table Perbandingan Rukun Shalat Antar Mazhab
No
|
Gerakan / Bacaan
|
Hanafi
|
Malik
|
Syafi`i
|
Hambali
|
1.
|
Niat
|
x
|
rukun
|
rukun
|
x
|
2.
|
Takbiratul-ihram
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
3.
|
Berdiri
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
4.
|
Membaca
Al-Fatihah
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
5.
|
Ruku`
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
6.
|
I`tidal (bangun dari ruku`)
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
7.
|
Sujud
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
8.
|
Duduk
Antara Dua Sujud
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
9.
|
Duduk
Tasyahhud Akhir
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
10.
|
Membaca
Tasyahhud Akhir
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
11.
|
Membaca
Shalawat Atas Nabi
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
12.
|
Salam
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
13.
|
Tertib
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
14.
|
Tuma`ninah
|
x
|
rukun
|
x
|
rukun
|
B. Rincian Rukun Shalat
1. Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram maknanya adalah ucapan takbir yang
menandakan dimulainya pengharaman. Yaitu mengharamkan segala sesuatu yang
tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat.
Seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
"dan Tuhanmu
agungkanlah! (Bertakbirlah untuknya)" (QS.
Al-Muddatstsir : 3)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r : مِفْتَاحُ
الصَّلاةِ الطَّهُورُ
وَتَحْرِيمُهَا
التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR.
Khamsah kecuali An-Nasai)
Dari Rufa`ah Ibnu Rafi`
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat
serorang hamba hingga dia berwudhu` dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu
mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)
"Bila kamu shalat maka
bertakbirlah". (HR. Muttafaqun Alaihi)
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu
Akbar, artinya Allah Maha Besar. Sebuah
zikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia
kepada Sang Maha Pencipta. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram,
maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan
menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
Lafaz ini diucapkan ketika semua syarat wajib dan syarat sah
shalat terpenuhi. Yaitu sudah menghadap ke kiblat dalam keadaan suci badan,
pakaian dan tempat dari najis dan hadats. Begitu juga sudah menutup aurat, tahu
bahwa waktu shalat sudah masuk dan lainnya.
Jumhur ulama mengharamkan makmum memulai takbir permulaan
shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir. Dengan dasar berikut ini
:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r
قَالَ :إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا
عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا رواه
الشيخان
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila
dia bertakbir maka bertakbirlah (HR. Muttafaq Alaihi)
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir
bersama-sama dengan imam
2. Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat dengan dalil berdasarkan firman
Allah SWT :
وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
"...Berdirilah untuk
Allah dengan khusyu'." (QS. Al-Baqarah : 238)
Juga ada hadits nabawi yang mengharuskan berdiri untuk
shalat
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ rعَنْ
صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا فَقَالَ
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ رواه
البخاري
Dari `Imran bin Hushain radhiyallahu
‘anhu bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
shalat seseorang sambil duduk, beliau bersabda,"Shalatlah dengan berdiri,
bila tidak sanggup maka sambil duduk dan bila tidak sanggup sambil berbaring".(HR. Bukhari)
Hadits ini juga
sekaligus menjelaskan bahwa berdiri hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu
berdiri. Sedangkan orang-orang yang tidak mampu berdiri, tidak wajib berdiri.
Misalnya orang yang sedang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.
Bahkan orang sakit itu bila tidak mampu bergerak sama
sekali, cukuplah baginya menganggukkan kepada saja menurut Al-Hanafiyah. Atau
dengan mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat Al-Malikiyah.
Bahkan As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan mengerakkan
anggota tubuh itu di dalam hati.
Juga perlu diperhatikan bahwa kewajiban berdiri dalam shalat
hanya berlaku untuk shalat fardhu saja. Sedangkan untuk shalat nafilah (sunnah)
tidak diwajibkan berdiri meskipun mampu berdiri. Jadi seseorang diperbolehkan melakukan
shalat sunnah dengan duduk saja tidak berdiri, meski badannya sehat dan mampu
berdiri.
Para fuqaha mazhab sepakat
mensyaratkan bahwa berdiri yang dimaksud adalah berdiri tegak. Tidak boleh
bersandar pada sesuatu seperti tongkat atau tembok, kecuali buat orang yang
tidak mampu. Terutama bila tongkat atau temboknya dipisahkan, dia akan
terjatuh. Adapun As-Syafi`iyah tidak mengharamkan melainkan hanya memakruhkan
saja. Dan Al-Malikiyah hanya mewajibkan berdiri tegak tanpa bersandar kepada
benda lain pada saat membaca Al-Fatihah saja. Sedangkan di luar bacaan Al-Fatihah
dibolehkan bersandar.
3. Membaca Al-Fatihah
Jumhur ulama menyebutkan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dimana
shalat seseorang tidak sah tanpa membacanya. Dengan dalil kuat dari
hadits nabawi :
وَعَنْ
عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran"(HR. Ibnu
Hibban dalam shahihnya)
a. Mazhab As-Syafi`i
Mazhab As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah
untuk membaca surat
Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaan
imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja. Kerena itu mereka
menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat
Al-Fatihah, makmum harus mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan,
masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak
terdengar).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur
dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku`.
Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah terhitung
mendapat satu rakaat.[1]
b. Mazhab Al-Malikiyah dan
Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa
seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya
keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab
bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa
Al-Fatihah itu bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah
boleh. Sebab yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah
semua hal yang wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib
dikerjakan dalam shalat wajib maupun shalat sunnah. Sehingga dalam tolok ukur
mereka, membaca surat
Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat, sebab seorang makmum yang tertinggal
tidak membaca Al-Fatihah tapi sah shalatnya. Bahkan makmum shalat
dimakruhkan untuk membaca Al-Fatihah karena makmum harus mendengarkan saja apa
yang diucapkan imam.
Selain itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran
diperintahkan membaca ayat Quran yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini :
فَاقْرَؤُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
...maka bacalah apa yang
mudah dari Al Qur'an (QS. Al-Muzzamil : 20)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidak sah shalat itu kecuali dengan membaca al-Quran".(HR.
Muslim)
Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan
Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma
nazhar, dimana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun,
dha` dan ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad
mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang
panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek. [2]
Bacaan Basmalah : Khilaf para ulama,
apakah bagian dari Al-Fatihah atau bukan?
Menurut mazhab As-Syafi`iyah, lafaz basmalah (bismillahirrahmanirrahim)
adalah bagian dari surat
Al-Fatihah. Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam
shalat dalam shalat jahriyah. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r
إِذَا قَرَأْتُمْ اَلْفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا
: ( بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ ) , فَإِنَّهَا إِحْدَى
آيَاتِهَا رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu membaca alhamdulillah (surat Al-Fatihah), maka
bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena Al-Fatihah itu ummul-Quran`, ummul-kitab,
sab`ul-matsani. Dan bismillahirahmanir-rahim adalah salah satu ayatnya". (HR.
Ad-Daruquthuny).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah. Dan dalam kitab Al-Majmu`
ada 6 orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian
dari surat
Al-Fatihah.[3]
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah
bukan bagian dari surat
Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun
shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah
adalah bagian dari surat
Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan
saja (sirr). Bila kita perhatikan imam masjidil al-haram di Mekkah,
tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya umumnya orang-orang
disana bermazhab Hanbali.
4. Ruku`
Ruku` adalah gerakan
membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lulut kaki.
Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan
meluruskan punggungnya, sehingga bila ada air di punggungnya tidak bergerak
karena kelurusan punggungnya.
Perintah untuk melakukan rukuk adalah firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(QS. Al-Hajj : 77)
Dan juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ رَأَيْتُهُ إِذَا رَكَعَ
أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu berkata,"Aku melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
ruku` meletakkan tangannya pada lututnya." (HR.
Muttafaqun Alaihi)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila
ruku` tidak mengangkat kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara
keduanya".
Untuk sahnya gerakan ruku`, posisi seperti ini harus
terjadi dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke
ruku` tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada
posisi ruku` yang disebut dengan istilah thuma`ninah. Dalilnya adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَبيِ قَتَادَةَ أَنّ الَّنِبيَّ r قَالَ
أَسْوَءُ النَّاسِ سَرِقَةً الذِّي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ قِيْلَ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟
قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا وَلاَ خُشُوْعَهَا رواه أحمد
والحاكم
Dari Abi Qatadha berkata
bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Pencuri yang paling
buruk adalah yang mencuri dalam shalatnya". Para shahabat
bertanaya,"Ya Rasulallah, bagaimana mencuri dalam shalat?".
"Dengan cara tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya". atau beliau
bersabda,"Tulang belakangnya tidak sampai lurus ketika ruku` dan
sujud". (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Thabarany, Ibnu
Khuzaemah, Ibnu Hibban)
Para ulama fiqih
menyebutkan bahwa perbedaan ruku`nya laki-laki dan wanita adalah pada letak
tangannya. Laki-laki melebarkan tangannya atau merenggangkan antara siku dengan
perutnya. Sedangkan wanita melakukan sebaliknya, mendekatkan tangannya ke
tubuhnya[4].
5. I`tidal
I`tidal adalah gerakan bangun dari ruku` dengan berdiri
tegap dan merupakan rukun shalat yang harus dikerjakan menurut jumhur ulama.
Kecuali pendapat Al-Hanafiyah yang agak tidak kompak sesama
mereka. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa i`tidal tidak termasuk rukun
shalat, melainkan hanya kewajiban saja. Sebab i`tidal hanyalah konsekuensi dari
tuma`ninah. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang menyebutkan hanya ruku` dan
sujud tanpa menyebutkan i`tidal.
"Dan ruku` lah dan
sujudlah" (QS. Al-Hajj : 77)
Namun sebagian ulama mazhab ini seperti Abu Yusuf dan yang
lainnya mengatakan bahwa i`tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh
ditinggalkan. Menurut mereka, bila seseorang shalat tanpa i`tidal maka
shalatnya batal dan tidak sah.
6. Sujud
Secara bahasa, sujud
berarti
§
al-khudhu` (الخضوع)
§
at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan
diri badan.
§
al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar`i, yang dimaksud dengan sujud menurut
jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua
telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
Pensyariatan Sujud
Al-Quran Al-Kariem memerintahkan kita untuk melakukan sujud
kepada Allah SWT. Dasarnya adalah hadits nabi :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ
عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى
أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ , وَالرُّكْبَتَيْنِ , وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota.
(Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan
kedua tapak kaki.(HR. Bukhari dan Muslim [5](
Manakah yang lebih dahulu
diletakkan, lutut atau tangan?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun
menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di
kalangan ulama.
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan
ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru
kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku
sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru
terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini.
عَنْ وَائِل بن حُجْر قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا
سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ
قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه الخمسة إلا
أحمد
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum
mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)[6]
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang
disunahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian
kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ قال قال رسول الله إِذَا سَجَدَ
أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ
ثُمَّرُكْبَتَيْهِ-رواه أحمد
والنسائي والترمذي
Dari Abi Hurariah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasululah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti
duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru
kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan
tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi
mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya. Maka
demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan
ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya
tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya
sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.
7. Duduk Antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud adalah rukun menurut jumhur ulama dan
hanya merupakan kewajiban menurut Al-Hanafiyah. Posisi duduknya adalah duduk
iftirasy, yaitu dengan duduk melipat kaki ke belakang dan bertumpu pada kaki
kiri. Maksudnya kaki kiri yang dilipat itu diduduki, sedangkan kaki yang kanan
dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap ke kiblat.
Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan
menjulurkan jari-jarinya.
8. Duduk Tasyahhud
Akhir
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut
jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud
akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy namun posisi
kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan.
Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti
pada iftirasy.
Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa
untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir
sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy.
Dalilnya adalah hadits berikut :
عَنْ وَائِل بنِ حجر قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى
صَلاَةِ رَسُوْلِ الله فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَسَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ
يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى – رواه الترمذي
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat
shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau duduk (tasyahhud),
beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan
menashabkan kakinya yang kanan". (HR. Tirimizy)[7]
Ada
pun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir
menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud
akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :
Dari Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk.
9. Salam Pertama
Ada
dua salam, yaitu salam pertama dan kedua. Salam pertama adalah fardhu shalat
menurut para fuqaha, seperti Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah. Sedangkan salam
yang kedua bukan fardhu melainkan sunnah.
Namun menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu,
kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur.
Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam yang pertama saja[8].
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun shalat yang
juga berfungsi sebagai penutup shalat. Dalilnya adalah :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r : مِفْتَاحُ
الصَّلاةِ الطَّهُورُ
وَتَحْرِيمُهَا
التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)[9]
Menurut As-Syafi’i, minimal lafadz salam itu adalah (السلام عليكم), cukup sekali saja. Sedangkan
menurut Al-Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan lafadz (السلام عليكم ورحمة الله), dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tidak disunnahkan untuk meneruskan
lafadz (وبركاته) menurut Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dengan dalil :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يَرَى
بَيَاضَ خَدِّهِ - رواه الخمسة وصححه الترمذي
Dari Ibni Mas’ud radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi salam ke kanan dan
ke kiri : Assalamu ‘alaikum warahmatullah Assalamu ‘alaikum warahmatullah,
hingga nampak pipinya yang putih. (HR.
Khamsah)[10]
Selain sebagai penutup shalat, salam ini juga merupakan doa
yang disampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya, bila
tidak ada maka diniatkan kepada jin dan malaikat.[11]
10. Thuma`ninah
Menurut jumhurul ulama’, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah
dan Al-Hanabilah, tuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan
ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud[12].
عَنْ حُذَيْفَة أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ
يُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ
حُذَيْفَة: مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ
اللَّهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – رواه أحمد والبخاري
Dari Hudzaifah ra bahwa beliau
melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah
selesai dari shalatnya, beliau memanggil orang itu dan berkata kepadanya,”Kamu
belum shalat, bila kamu mati maka kamu mati bukan di atas fitrah yang telah
Allah tetapkan di atasnya risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR.
Bukhari)[13]
11. Tertib
[1]
Al-Majmu, karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah jilid 3 halaman 344 s/d 350
[2]
kitab Addur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 415, kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman
193-205322, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 110 dan kitab Tabyinul Haqaiq jilid
1 halaman 104
[3]
kitab Al-Majmu` jilid 3 halaman 302
[4]
Rujuk ke kitab-kitab berikut ini : Fathul Qadir
jilid 1 halaman 193-208, Ad-Dur al-Mukhtar jilid 1 halaman 416, As-Syarhu
Ash-Shaghir jilid 1 halaman 313, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 62, Mughni
Al-Muhtaj jilid 1 halaman 163, Kassyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 452,
Al-Muhazzab jilid 1 halaman 74).
[5]
Nailul
Authar : 2/253
[7] Hadits
hasan shahih - Nailul Authar : 2/273)
[8]
Lihat Al-Qawanin Al-Fiqhiyah jilid 66, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 177,
Hasyiyatul Bajuri jilid 1 halaman 163, Kasysyaf Al-Qanna’ jilid 1 halaman 454,
Al-Mughni jilid 1 halaman 551-558, As-Syarhusshaghir jilid 1 halaman 315-321,
Asysyarhulkabir jilid 1 halaman 240
[9]
Menurut Al-Hakim hadits ini shahih dengan syarat dari Muslim. Hadits ini juga
mutawatir yang diriwayatkan oleh 7 shahabat – lihat An-Nuzhum Al-Mutanatsir
halaman 57
[10]
Nailul Authar bab Al-Khuruj minashshalah bissalam, jilid 2 halaman 332
[11]
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 673
[12]
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 675
[13]
Nailul Authar jilid 2 halaman 298
No comments:
Write komentar