Tuesday, 11 February 2014

GOLPUT SEBAGAI HAK POLITIK


Pada pemilu calon legislatif (caleg ) yang lalu jumlah  pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya lumayan banyak. Dalam pilpres kedua jumlah ini meningkat. Diperkirakan jumlah golput pada pilpres I mencapai 20 % dari total pemilih yang memiliki  hak pilih. Para pengamat menduga  mereka yang akan golput pada pilpres II akan bertambah lagi. Fenomena ini menarik karena dibalik gencarnya isyu   demokratisasi , banyak warga negara justru mengambil sikap sebaliknya. Mereka bersikap apatis, tak mau peduli dan tidak ikut berpartisipasi di dalamnya.
Gejala ini bisa ditangkap sebagai adanya perlawanan diam dari warga negara terhadap negara atau pemerintah. Mereka mungkin sudah jenuh bahwa di balik janji-janji yang dikemukakan pada masa  kampanye yang ada hanya kebohongan belaka. Politisi menjanjikan ini itu, tapi rakyat tahu bahwa itu hanya untuk memikat hati biar partainya atau dirinya (caleg) dipilih. Rakyat paham itu cuma janji kampanye yang tidak akan ada buktinya di belakang.
Pilpress I yang menyisakan  dua calon, yakni SBY dan Mega, mungkin akan menjadi tidak menarik bagi pendukung calon yang tersisih. Pendukung Amien, Wiranto atu mungkin juga Hamzah Haz, mungkin akan tidak akan datang ke TPS, ataupun kalau datang mereka tidak akan mencoblos, atau mencoblos dua gambar langsung biar  tidak sah. Banyaknya mereka yang akan golput baik dengan tidak datang ke TPS, datang tapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar akan banyak. Ada kekecewaan bahwa ternyata di Indonesia bakal tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Dua calon ini, yakni SBY dan Mega, ditengarai dan diduga kepanjangan  kaki tangan Barat. Mereka berdua adalah calon yang dijagokan oleh pihak Barat. Oleh sebab itu di masa depan Indonesia tetap akan seperti ini atau malah mungkin lebih buruk. Aset  aset nasional mungkin akan bertambah lagi yang dijual ke pihak asing. Begitu pula perbaikan ekonomi yang dijanjikan, ataupun pemberantasan pengangguran, mungkin akan cuma  jadi janji kosong. Rakyat sudah mencium hal-hal seperti ini maka mereka apatis. Dan apatis secara massal ini akan jadi penyebab banyaknya golput di pilpres II.
Golput juga bissa disebabkan oleh jalannya penyelenggaraan pemilu yang buruk dan penuh kecurangan. Sudah bukan rahassia lagi bahwa kecurangan-kecurangan banyak terjadi di daerah-daerah. Penggelembungan calon pasangan capres-cawapres tertentu dan adanya capres yang  suaranya dibajak, sudah jadi berita. Publik sudah tahu bahwa pemilu ini hanya untuk memenangkan pasangan tertentu dan untuk menyisihkan calon-calon  lainnya. Otomatis pendukung pasangan yang tersisih tidak ada gairah   lagi untuk mengikuti pemilu pada tahapan berikutnya.
Banyak pakar dan ahli politik meramalkan bahwa golput pada pilpres II ini akan lebih besar dibanding pada pilpres I. Idi Subandy, editor penerbit Mizan mengatakan bahwa dirinya ragu apakah golput ini akan benar-benar menunjukkan dirinya, apakah mereka akan golput. Kalau asumsinya memang, kemarin , sebagai ekspresi kekecewaan, itu saya k ira menunjukkan gejala yang kurang baik bagi penguatan demokrasi. “Tetapi kalau golput  sebagai fenomena ekspresi politik karena ketidakpuasan melihat sistem politik yang tidak banyak berubah, watak kekuasaan di Jakarta yang katakanlah , menunjukkan politik itu hanyalah politik dagang sapi atau menunjukkan ketidakseriusan di kalangan elit politik, maka fenomena golput saya dukung”, katanya.
Orang mengatakan golput akan  meningkat, itu menjadi tamparan bagi para politisi. Tapi bagi masyarakat yang  tingkat kedewasaan berpikirnya sudah tinggi,  golput harus dilihat sebagai ekspresi politik. Artinya, sebenarrnya orang yang memilih dengan yang tidak memilih  dengan kesadaran adalah orang yang sama di mata politik. Dengan tujuan bahwa, mereka yang tidak memilih itu sebetulnya  mendewasakan elit politik. Bahwa sebetulnya dia merasa tidak memiliki wakil, hingga elit politik akan menjadi serius dalam mengelola negeri ini. Kita harus melihat golput  sebagai fenomena yang bagus dalam berdemokrasi.
Kekuatan oposisi sah-sah saja. Misalnya dengan menggiring opini untuk melaksanakan golput.Kalau itu sifatnya sebagai jalan untuk melakukan posisi tawar, membuat eksekutif  menjadi kuat, kenapa itu kita salahkan. “Sekali lagi, saya”, demikian kata Idi Subandy,”melihat fenomena golput sebagai fenomena yang harus kita lihat sisi positifnya.” Ada beberapa golongan masayarakat  yang tidak memilih. Tidak memilih mungkin  karena ditawari orang, bisa  juga  tidak memilih karena sebuah kesadaran, bisa juga karena memang tidak tahu. Kalau  kemarin kan banyak yang tidak memilih, sekitar 30 juta lebih pada pilpres I, karena berbagai alasan. Apa itu dinilai sebagai golput, atau karena kekonyolan kita saja.
Sekali lagi, golput bisa kita lihat sebagai : pertama, ekspresi politik kekecewaan terhadap budaya elit kita, kedua, karena ketidaktahuan dan ketiga   karena memang mereka tidak memiliki wakil.
Pemilih-pemilih riil Amien Rais yang nanti akan mengaspirasikan politiknya  pada pilpres II  pasti tidak akan memilih. “Saya berani  mengatakan begitu,” demikian kata Idi .
Lagi-lagi politik, kita bisa melegitimasi apapun dengan mengatakan golput sebagai sebuah kesadaran pendewasaan politik,  sebagai sebuah ajang pembelajaran, bahwa masayarakat juga bisa menggunakan haknya untuk tidak  memilih. Bahwa memilih itu bukan suatu paksaan, bukan kewajiban, tetapi hak. Kalau sekiranya nanti golput banyak, orang berani mengekspresikan bahwa mereka golput, lama-lama elit  politik akan lebih serius mengelola ini. Masalahnya sekarang  kita memperlihatkan ketidakseriusan dalam memilih elit politik.
Sementara itu narasumber yang lain, yakni Yasraf Amir Piliang, MA, dosen  program magister desain pasca sarjana ITB , Bandung, mengatakan bahwa tentunya untuk pemilu konteksnya demokrasi. Framenya tetap dalam konteks demokrasi. Dalam demokrasi memilih itu adalah hak. Artinya  karena memilih itu adalah hak, dari segi logika  berlaku sebaliknya. Tidak memilih itupun hak.  Kalau demokrasi itu seperti itu jadi tidak ada soal dikatakan kalau tidak memilih itu haram. Dalam demokrasi itu tidak ada. Menurut saya, golput  itu adalah semua warga. Cuma sekarang harus dikaitkan dengan masalah strategis. Dari segi prinsip golput itu adalah hak, tetapi yang perlu dipikirkan bersama oleh kelompok tertentu, apakah golput menjadi pilihan strategis atau tidak.
Kalau seandainya tidak memilih itu mengandung unsur strategisnya, saya pikir itu logis atau rasional dalam demokrasi. Tetapi kalau tidak memilih itu tidak berdampak apa-apa, artinya tidak rasional. Karena tetap saja memilih itu kan harus dikaitkan dengan tujuan tertentu. Kita memilih karena satu tujuan. Katakanlah  saya memilih capres tertentu, karena kita memiliki tujuan tertentu. Tujuan menjadi kaya, sejahtera, dapat pekerjaan dan sebagainya. Kita pilih capres tertentu dengan tujuan tertentu. Itu kan  rasionalitas dalam politik. Kalau katakanlah kita bersikap golput atau memilih seseorang, dua-duanya  tidak berimplikasi terhadap tujuan kita itu, kita berhadapan dengan pilihan fifty-fifty.
Madharat dan manfaat  berkaitan dengan rasionalitas. Rasionalitas itu begini, kita  punya tujuan dan ingin kita capai dengan memilih seseorang capres agar tercapai. Kalau kita tidak memilih dan tidak dikaitkan dengan itu, kita bukan pemilih rasional, tapi ikut-ikutan. Sehingga menurut saya, katakanlah dalam kondisi sekarang kita punya dua pilihan, tetap kita kaitkan dengan tujuan sasya. Diantara dua pilihan ini, mana yang kira-kira lebih memenuhi tujuan saya.Kalau diantara dua capres ini tidak ada yang  memenuhi tujuan saya, saya tidak memilih, itu rasional.
Kalau suatu pilihan itu dilakukan secara emosional, atau akibat  dari suatu emosi tertentu, maka itu irasional. Walaupun saya tidak mengatakan memilih itu sepenuhnya harus rasional. Tetapi jangan sampai juga sepenuhnya irasional.  Jadi harus dikaitkan dengan kepentingan. Apapun kondisinya, walaupun kita telah kalah, minimal lebih rasional ketimbang dengan emosi,  sudahlah saya golput saja, maka itu irasional. “Golput karena pilihan rasional saya dukung. Tapi golput karena dorongan emosi tidak saya dukung.
Gelombang golput antara pendukung  Amien Rais dengan Gus dur mungkin ada bedanya.  Antara pendukung Amieng Rais dan Gus dur saya pikir lebih rasional pendukung Amien Rais dari segi jalur berpikirnya,” ujar Yasraf.
Dua  tokoh ini  berbeda, Pak Amien lebih moderat dan lebih rasional cara berpikirnya. Kalau Gus dur kita tahu sendiri. Banyak keputusan Gus Dur yang irasional. Dari caranya , tidak tahulah kita…minta petunjuk dari mana, itu kan tidak rasional. “Saya pikir dua tokoh ini banyak berpengaruh pada masasanya. Massa NU berpeluang untuk melakukan golput yang irasional. Sedang massa Pak Amien berpeluang untuk golput rasional,” tambahnya.
Sekali lagi atas dasar  suatu kalkulasi kita galang massa  untuk golput, dengan  tujuan membentuk massa yang kritis. Dalam hal ini adalah kekuatan oposisi. Kalau dipikir ini satu pilihan juga. Jadi kita tidak bisa menggeneralisir golput harus ada rasionalitas-rasionalists di balik golput itu.
Senada dengan pendapat di atass, Yudi Latif, seorang peneliti LIPI berpendapat bahwa golput sebagai fenomena yang wajar.” Its not choice”, kata Huttington. Memang bukan pilihan mudah, karena sosok Megawati sebagai salah satu capres tampil dengan tidak menggembirakan. Megawati tidak memiliki komitmen dalam  hal pemberantasan KKN, supremasi sipil atau untuk melanjutkan reformasi. Bahkan orang-orang di sekelilingnya  cenderung kurang menggembirakan. Sebab disinyalir banyak melakukan korupsi.
Sementara sosok SBY juga bukan satu pilihan yang menjanjikan. Latar belakangnya dari militer sangat tidak bisa diharapkan. Kultur militer itu jelas bertentangan dengan kultur demokrasi, sehingga tidak terlalu menjanjikan ke depan. SBY yang menghendaki harmonisasi hubungan antar berbagai elemen bangsa jelas  tidak menjanjikan apa-apa.  Tidak ada perubahan yang berarti dalam agenda harmonisasi ini. Di samping  itu, orang-orang di belakang SBY adalah “orang lama”. Hal ini pun menjadi indikasi bangkitnya kekuatan orde baru.
Fenomena golput yang dilakukan pndukung Amien Rais sebenarnya bisa dimengerti. Pendukung Amien Rais terdiri dari dua elemen kritis yang meliputi elemen perkotaan dan massa ideologis. Elemen perkotaan yang umumnya kaum  terpelajar merasa kecewa karena reformasi telah gagal. Karena itu sikap mereka untuk golput bisa dimengerti. Semenntara massa ideologis merasa bahwa capres yang menurut pandangan mereka seideologis tidak lolos. Dari dua capres yang lolos dipandang tidak  ada yang mewakili mereka.
Tidak ada madharatnya bagi umat Islam, antara memilih dan tidak memilih. Sebab memilih dan tidak memilih akan tetap ada presiden baru.  Sementara kalau tidak memilih tidak ada jaminan terpenuhinya aspirasi mereka.
Seandainya umat Islam nanti berkoalisi , itupun sangat riskan. Sebab dalam perolehan kursi menteri, misalnya hanya akan menjebak umat Islam. Bahkan hanya akan dimanfaatkan atau lebih parahnya lagi akan menjadi bumerang bagi umat Islam. “Menurut saya,” demikian tutur Yudi Latif,”Politik sebagai ajang peembelajaran.” Oleh karena itu dengan berpolitik harus mendewasakan kita. Memang dalam kultur kita  posisi kekuatan oposisi kurang  dihargai. Bahkan seolah-olah dipandang remeh, Hal ini dikarenakan minimnya pengetahua rakyat tentang  politik. Seandainya rakyat mau belajar dari negara-negara demokrasi di dunia, misalnya di Amerika, kekuatan opossisi betul-betul sangat disegani dan dihormati. Oleh karena itu proses pendidikan politik harus terus berlanjut agar menyadarkan rakyat bahwa  akan peran penting posisi kekuatan oposisi. Ia melihat bahwa dengan jumlah golput yang terus meningkat akan menjadi pressure  yang kuat.
Sementara itu Dr.Drajat Triarkoro, direktur lembaga pengabdian masyarakat UNS, sstaf pengajar di Fisip UNS punya pendapat lain. Beliau berpendapat bahwa dalam sistem demokrasi seperti sekarang ini golput memang diharapkan tidak ada, tetapi karena adanya kesenjangan pada sebuah pilihan, misalnya tidak ada calon yang dianggap ideal, maka keputusan tidak  memilih merupakan hal yang logis  logis saja. Golput memang ada karena ada yang salah memilih (sehingga suaranya rusak)., dan ada pula yang karena sadar yang kedua ini adalah indikator adanya kedewasaan berdemokrasi. Besarnya suara golput tidak seharusnya dikhawatirkan. “Daripada memilih yang tidak berkualitas maka saya sendiri juga tidak akan ikut memilih,”katanya.
Maka fenomena golput yang rasional ini dapat pula dijadikan indikator akan adanya sesuatu yang tidak benar dalam mekanisme keterwakilan. Memang kalau jumlahnya kecil dan tidak terorganisir memang sia-sia, tetapi  kalau jumlahnya cukup besar (lebih 50% misalnya) dan terorganisir  itu merupakan hal yang sangat signifikan  sebagai penekan pemerintah jadi mungkin pemilih itu memang harus dididik kalau tidak ada calon yang layak. Golput adalah juga sebagai suatu pilihan, mereka harus dididik untuk tetap ke TPS tetapi membiarkan kartu suara itu kosong saat  dimasukkan dalam kotak kembali. Tetapi setelah golput dan ada pemenang maka kita harus menghormati sang pemenang namun untuk bertanggung jawab mendukung itu nanti dulu karena sedari awal kita memang tidak memberi dukungan, hakikat suara itu kan dukungan.
Sementara itu Dadang Juliantara, mantan direktur LAPERA Yoagyakarta berpendapat bahwa pilpres putaran kedua besok memang tidak ada pilihan yang agak baik. Megawati memang tidak cocok jadi presiden, dia itu cocoknya jadi anak presiden, selalu dilayani masyarakat, bukan melayani. Sedangkan pilihan yang satunya sudah jelas tidak mungkin kita pilih. Kita sudah kapok hidup di bawah represifitas  rezim militer, diskusi harus izin, pengajian diinteli, semua aktifitas terpasung dan sewaktu-waktu bisa dibubarkan tentara dan aktivisnya dipenjarakan. Bagi aktivis demokrasi dan kalangan  intelektual serta pers sosok dan background kehidupan SBY sudah sangat jelas sebagai musuh masyarakat sipil dan musuh demokrasi. Tidak ada tentara yang pensiun apalagi jenderalnya, dia secara administratif memang sudah sipil karena sudah pensiun, tetapi jiwa dan ideologinya tetap seorang tentara.
Tetapi dengan kondisi saat ini golput dapat dikatakan sebagai pilihan  yang membahayakan masa depan demokrasi karena sama artinya dengan memberi kesempatan status quo untuk menang. Kalau urutan pemenang putaran I lalu seperti itu (SBY nomor satu) maka SBY lagi yang akan memenangi putaran II yang berarti golput mempersilakan rezim militer kembali berkuasa dan itu sangat jelas berbahaya.
Pendapat senada dikemukakan oleh Kuni Khairun Nisa’, Alumni international Islamic University  Islamabad Pakistan. Putaran pilpres besok, menurut  Kuni, hampir pasti ia akan golput. Ia akan tetap mendatangi TPS hanya untuk menghanguskan suaranaya. Tindakan ini ia ambil bukan karena ia tidak peduli dan tidak mau tahu pada masa depan negeri ini, tetapi karena ia sangat peduli. Golput ini ia niatkan untuk memberi dukungan moral dan mental kepada anggota parlemen dan kelompok lain yang memilih untuk melakukan oposisi pada pemerintah   yang akan tepilih nanti. Dalam konteks insider dan outsider, opossisi ini dia kira akan lebih elegan apabila sudah diniati sedari awal, dengan tidak mendukung salah satu calon yang akan memenangi pemilihan jelas akan lebih mudah melakukan kontrol pad apemerintah terpilih. Kalau ditanya mengapa harus golput ? Jawabnya sudah sangat jelas, karena tidak ada pilihan yang layak, pada  putaran I dulu itu ia sudah menurunkan standar kelayakan ccapres sehingga dengan berbagai kompromi kecil ia bisa menerima satu pasangan capres cawapres yang agak lumayan. Kalau sekarang harus  menurunkan standar lagi jelas tidak mungkin.
Sementara itu Dr.Mujiono Abdillah staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Walisongo punya pendapat lain, dia berpendapat bahwa Golput tetap bermanfaat yaitu sebagai koreksi dengan tidak memilih yang tersedia. (karena tidak ada yang ideal)  itu adakah suatu sikap tetapi  itu jalanan karena tidak ada wadah. Namun kalau dimanaj dengan baik akan sangat baik yaitu sebagai kelompok penekan.  Maka golput itu ada menfaat atau tidaknya tergantung  pada follow upnya, kalau tidak ada tindak lanjutnya untuk memanaj gerakan itu jelas sangat bermanfaat bagi sehatnya demokrasi
Di kesempatan lain Sam Suharto, anggota pimpinan PWM Jawa Timut punya pendapat yang optimistik.   Demokrasi di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dengan adanya banyak golput. Dan ini menyangkut rasionalitas yang mulai dikedepankan serta politik aliran yang mulai ditinggalkan. Tetapi kalau kita melakukan refleksi lebih jauh, delegitimasi para politisi oleh rakyatlah yang menjadi dasarnya. Rakyat sekarang tidak mudah lagi percaya  lagi pada politisi kita, karena dulunya meeka sering menipu rakyat.
Konsekuensi masyarakat yang semakin kritis daalam demokrasi ya seperti yang kita lihat :banyak yang menggunakan hak pilih, itu cerminan realitas, mereka sudah  menentikan mana yang layak dipilih dan mana yang tidak layak. Sementara itu Dr Ahmad Jaenuri, Direktur Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat Surabaya memiliki pendapat yang agak moderat. Penyelenggaraan pemilu sudah bagus, tetapi secara khusus pilpres kemarrin menunjukkan bahwa itu menunjukkan representasi semua orang, meski kita harus menerimanya ssebagai hasil pemilu yang sah.
Tingginya  jumlah golput adalah fenomena. Dan itu sah-sah saja, karena yang terpenting menggunakan atau tidak sebuah hak adalah sebagai sebuah pilihan. Bagi negara maju seperti Amerika fase pemilihan yang minim pemilih adalah sesuatu yang wajar.
Sementara itu MT Arifin , pengamat politik dan militer dari Solo menekankan bahwa saat ini jelas kalau kelompok pro golput memang sangat mengharap Muhammadiyah untuk golput, jelas kalau Muhammadiyah  golput mereka akan senang sekali karena Muhammadiyah itu organisasi yang besar dan gaungnya jelas akan sangat besar sekali. Kalau Muhammadiyah golput mereka menang dan Muhammadiyah kalah. Karena dalam konteks ini Muhammadiyah hanya dijadikan martir untuk kepentingan mereka. Bahayanya dalam beberapa pergerakan Muhammadiyah – dan juga Pak Amien – seringkali mudah terjebak untuk dijadikaan martir, dan bahkan bangga, kelompok-kelompok kecil itu. Pahlawan kesiangan. Karena golput dijadikan sarana untuk mengejar kepentingan pribadi.
Tapi bagaimanapun himbauan untuk tidak golput  begitu gencar  rasanya pilpres putaran kedua nanti golputnya akan banyak. Selain berasal dari mereka yang memang sudah sejak semula apatis dengan kegiatan politik, kelompok kedua  yaitu pendukung mereka yang tersisih seperti pendukung Amien Rais dan Wiranto. Bagi mereka pilihan yang disediakan., yakni SBY dan Megawati, bukan pilihan yang menarik, kompeten, dan memenuhi aspirasi kebanyakan rakyat. Dan golput sebagai   hak politik makin disadari banyak pihak dan mungkin akan dipilih sebagai sebuah sikap dalam pilprs nanti. (Penulis :Nafi’, bahan : Mu’arif, Is. Fiq)




Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004















No comments:
Write komentar