Pada pemilu calon legislatif (caleg ) yang lalu jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya
lumayan banyak. Dalam pilpres kedua jumlah ini meningkat. Diperkirakan jumlah
golput pada pilpres I mencapai 20 % dari total pemilih yang memiliki hak pilih. Para pengamat menduga mereka yang akan golput pada pilpres II akan
bertambah lagi. Fenomena ini menarik karena dibalik gencarnya isyu demokratisasi , banyak warga negara justru
mengambil sikap sebaliknya. Mereka bersikap apatis, tak mau peduli dan tidak
ikut berpartisipasi di dalamnya.
Gejala ini bisa ditangkap sebagai adanya perlawanan diam
dari warga negara terhadap negara atau pemerintah. Mereka mungkin sudah jenuh
bahwa di balik janji-janji yang dikemukakan pada masa kampanye yang ada hanya kebohongan belaka.
Politisi menjanjikan ini itu, tapi rakyat tahu bahwa itu hanya untuk memikat
hati biar partainya atau dirinya (caleg) dipilih. Rakyat paham itu cuma janji
kampanye yang tidak akan ada buktinya di belakang.
Pilpress I yang menyisakan
dua calon, yakni SBY dan Mega, mungkin akan menjadi tidak menarik bagi
pendukung calon yang tersisih. Pendukung Amien, Wiranto atu mungkin juga Hamzah
Haz, mungkin akan tidak akan datang ke TPS, ataupun kalau datang mereka tidak
akan mencoblos, atau mencoblos dua gambar langsung biar tidak sah. Banyaknya mereka yang akan golput
baik dengan tidak datang ke TPS, datang tapi tidak menggunakan hak pilihnya
secara benar akan banyak. Ada kekecewaan bahwa ternyata di Indonesia bakal
tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Dua calon ini, yakni SBY dan Mega, ditengarai dan diduga
kepanjangan kaki tangan Barat. Mereka
berdua adalah calon yang dijagokan oleh pihak Barat. Oleh sebab itu di masa
depan Indonesia tetap akan seperti ini atau malah mungkin lebih buruk.
Aset aset nasional mungkin akan
bertambah lagi yang dijual ke pihak asing. Begitu pula perbaikan ekonomi yang
dijanjikan, ataupun pemberantasan pengangguran, mungkin akan cuma jadi janji kosong. Rakyat sudah mencium
hal-hal seperti ini maka mereka apatis. Dan apatis secara massal ini akan jadi
penyebab banyaknya golput di pilpres II.
Golput juga bissa disebabkan oleh jalannya penyelenggaraan
pemilu yang buruk dan penuh kecurangan. Sudah bukan rahassia lagi bahwa
kecurangan-kecurangan banyak terjadi di daerah-daerah. Penggelembungan calon
pasangan capres-cawapres tertentu dan adanya capres yang suaranya dibajak, sudah jadi berita. Publik
sudah tahu bahwa pemilu ini hanya untuk memenangkan pasangan tertentu dan untuk
menyisihkan calon-calon lainnya.
Otomatis pendukung pasangan yang tersisih tidak ada gairah lagi untuk mengikuti pemilu pada tahapan
berikutnya.
Banyak pakar dan ahli politik meramalkan bahwa golput pada
pilpres II ini akan lebih besar dibanding pada pilpres I. Idi Subandy, editor
penerbit Mizan mengatakan bahwa dirinya ragu apakah golput ini akan benar-benar
menunjukkan dirinya, apakah mereka akan golput. Kalau asumsinya memang, kemarin
, sebagai ekspresi kekecewaan, itu saya k ira menunjukkan gejala yang kurang
baik bagi penguatan demokrasi. “Tetapi kalau golput sebagai fenomena ekspresi politik karena
ketidakpuasan melihat sistem politik yang tidak banyak berubah, watak kekuasaan
di Jakarta yang katakanlah , menunjukkan politik itu hanyalah politik dagang
sapi atau menunjukkan ketidakseriusan di kalangan elit politik, maka fenomena
golput saya dukung”, katanya.
Orang mengatakan golput akan
meningkat, itu menjadi tamparan bagi para politisi. Tapi bagi masyarakat
yang tingkat kedewasaan berpikirnya
sudah tinggi, golput harus dilihat
sebagai ekspresi politik. Artinya, sebenarrnya orang yang memilih dengan yang
tidak memilih dengan kesadaran adalah
orang yang sama di mata politik. Dengan tujuan bahwa, mereka yang tidak memilih
itu sebetulnya mendewasakan elit
politik. Bahwa sebetulnya dia merasa tidak memiliki wakil, hingga elit politik
akan menjadi serius dalam mengelola negeri ini. Kita harus melihat golput sebagai fenomena yang bagus dalam
berdemokrasi.
Kekuatan oposisi sah-sah saja. Misalnya dengan menggiring
opini untuk melaksanakan golput.Kalau itu sifatnya sebagai jalan untuk
melakukan posisi tawar, membuat eksekutif
menjadi kuat, kenapa itu kita salahkan. “Sekali lagi, saya”, demikian
kata Idi Subandy,”melihat fenomena golput sebagai fenomena yang harus kita
lihat sisi positifnya.” Ada beberapa golongan masayarakat yang tidak memilih. Tidak memilih
mungkin karena ditawari orang, bisa juga
tidak memilih karena sebuah kesadaran, bisa juga karena memang tidak
tahu. Kalau kemarin kan banyak yang
tidak memilih, sekitar 30 juta lebih pada pilpres I, karena berbagai alasan.
Apa itu dinilai sebagai golput, atau karena kekonyolan kita saja.
Sekali lagi, golput bisa kita lihat sebagai : pertama,
ekspresi politik kekecewaan terhadap budaya elit kita, kedua, karena ketidaktahuan
dan ketiga karena memang mereka tidak
memiliki wakil.
Pemilih-pemilih riil Amien Rais yang nanti akan
mengaspirasikan politiknya pada pilpres
II pasti tidak akan memilih. “Saya
berani mengatakan begitu,” demikian kata
Idi .
Lagi-lagi politik, kita bisa melegitimasi apapun dengan
mengatakan golput sebagai sebuah kesadaran pendewasaan politik, sebagai sebuah ajang pembelajaran, bahwa
masayarakat juga bisa menggunakan haknya untuk tidak memilih. Bahwa memilih itu bukan suatu
paksaan, bukan kewajiban, tetapi hak. Kalau sekiranya nanti golput banyak,
orang berani mengekspresikan bahwa mereka golput, lama-lama elit politik akan lebih serius mengelola ini.
Masalahnya sekarang kita memperlihatkan
ketidakseriusan dalam memilih elit politik.
Sementara itu narasumber yang lain, yakni Yasraf Amir
Piliang, MA, dosen program magister
desain pasca sarjana ITB , Bandung, mengatakan bahwa tentunya untuk pemilu
konteksnya demokrasi. Framenya tetap dalam konteks demokrasi. Dalam demokrasi
memilih itu adalah hak. Artinya karena
memilih itu adalah hak, dari segi logika
berlaku sebaliknya. Tidak memilih itupun hak. Kalau demokrasi itu seperti itu jadi tidak
ada soal dikatakan kalau tidak memilih itu haram. Dalam demokrasi itu tidak
ada. Menurut saya, golput itu adalah
semua warga. Cuma sekarang harus dikaitkan dengan masalah strategis. Dari segi
prinsip golput itu adalah hak, tetapi yang perlu dipikirkan bersama oleh
kelompok tertentu, apakah golput menjadi pilihan strategis atau tidak.
Kalau seandainya tidak memilih itu mengandung unsur
strategisnya, saya pikir itu logis atau rasional dalam demokrasi. Tetapi kalau
tidak memilih itu tidak berdampak apa-apa, artinya tidak rasional. Karena tetap
saja memilih itu kan harus dikaitkan dengan tujuan tertentu. Kita memilih
karena satu tujuan. Katakanlah saya
memilih capres tertentu, karena kita memiliki tujuan tertentu. Tujuan menjadi
kaya, sejahtera, dapat pekerjaan dan sebagainya. Kita pilih capres tertentu
dengan tujuan tertentu. Itu kan
rasionalitas dalam politik. Kalau katakanlah kita bersikap golput atau
memilih seseorang, dua-duanya tidak
berimplikasi terhadap tujuan kita itu, kita berhadapan dengan pilihan
fifty-fifty.
Madharat dan manfaat
berkaitan dengan rasionalitas. Rasionalitas itu begini, kita punya tujuan dan ingin kita capai dengan
memilih seseorang capres agar tercapai. Kalau kita tidak memilih dan tidak
dikaitkan dengan itu, kita bukan pemilih rasional, tapi ikut-ikutan. Sehingga
menurut saya, katakanlah dalam kondisi sekarang kita punya dua pilihan, tetap
kita kaitkan dengan tujuan sasya. Diantara dua pilihan ini, mana yang kira-kira
lebih memenuhi tujuan saya.Kalau diantara dua capres ini tidak ada yang memenuhi tujuan saya, saya tidak memilih, itu
rasional.
Kalau suatu pilihan itu dilakukan secara emosional, atau
akibat dari suatu emosi tertentu, maka
itu irasional. Walaupun saya tidak mengatakan memilih itu sepenuhnya harus
rasional. Tetapi jangan sampai juga sepenuhnya irasional. Jadi harus dikaitkan dengan kepentingan.
Apapun kondisinya, walaupun kita telah kalah, minimal lebih rasional ketimbang
dengan emosi, sudahlah saya golput saja,
maka itu irasional. “Golput karena pilihan rasional saya dukung. Tapi golput
karena dorongan emosi tidak saya dukung.
Gelombang golput antara pendukung Amien Rais dengan Gus dur mungkin ada
bedanya. Antara pendukung Amieng Rais
dan Gus dur saya pikir lebih rasional pendukung Amien Rais dari segi jalur
berpikirnya,” ujar Yasraf.
Dua tokoh ini berbeda, Pak Amien lebih moderat dan lebih
rasional cara berpikirnya. Kalau Gus dur kita tahu sendiri. Banyak keputusan
Gus Dur yang irasional. Dari caranya , tidak tahulah kita…minta petunjuk dari
mana, itu kan tidak rasional. “Saya pikir dua tokoh ini banyak berpengaruh pada
masasanya. Massa NU berpeluang untuk melakukan golput yang irasional. Sedang
massa Pak Amien berpeluang untuk golput rasional,” tambahnya.
Sekali lagi atas dasar
suatu kalkulasi kita galang massa
untuk golput, dengan tujuan
membentuk massa yang kritis. Dalam hal ini adalah kekuatan oposisi. Kalau dipikir
ini satu pilihan juga. Jadi kita tidak bisa menggeneralisir golput harus ada
rasionalitas-rasionalists di balik golput itu.
Senada dengan pendapat di atass, Yudi Latif, seorang
peneliti LIPI berpendapat bahwa golput sebagai fenomena yang wajar.” Its not
choice”, kata Huttington. Memang bukan pilihan mudah, karena sosok Megawati
sebagai salah satu capres tampil dengan tidak menggembirakan. Megawati tidak
memiliki komitmen dalam hal
pemberantasan KKN, supremasi sipil atau untuk melanjutkan reformasi. Bahkan
orang-orang di sekelilingnya cenderung
kurang menggembirakan. Sebab disinyalir banyak melakukan korupsi.
Sementara sosok SBY juga bukan satu pilihan yang
menjanjikan. Latar belakangnya dari militer sangat tidak bisa diharapkan.
Kultur militer itu jelas bertentangan dengan kultur demokrasi, sehingga tidak
terlalu menjanjikan ke depan. SBY yang menghendaki harmonisasi hubungan antar
berbagai elemen bangsa jelas tidak
menjanjikan apa-apa. Tidak ada perubahan
yang berarti dalam agenda harmonisasi ini. Di samping itu, orang-orang di belakang SBY adalah
“orang lama”. Hal ini pun menjadi indikasi bangkitnya kekuatan orde baru.
Fenomena golput yang dilakukan pndukung Amien Rais
sebenarnya bisa dimengerti. Pendukung Amien Rais terdiri dari dua elemen kritis
yang meliputi elemen perkotaan dan massa ideologis. Elemen perkotaan yang
umumnya kaum terpelajar merasa kecewa
karena reformasi telah gagal. Karena itu sikap mereka untuk golput bisa
dimengerti. Semenntara massa ideologis merasa bahwa capres yang menurut
pandangan mereka seideologis tidak lolos. Dari dua capres yang lolos dipandang
tidak ada yang mewakili mereka.
Tidak ada madharatnya bagi umat Islam, antara memilih dan
tidak memilih. Sebab memilih dan tidak memilih akan tetap ada presiden
baru. Sementara kalau tidak memilih
tidak ada jaminan terpenuhinya aspirasi mereka.
Seandainya umat Islam nanti berkoalisi , itupun sangat
riskan. Sebab dalam perolehan kursi menteri, misalnya hanya akan menjebak umat
Islam. Bahkan hanya akan dimanfaatkan atau lebih parahnya lagi akan menjadi
bumerang bagi umat Islam. “Menurut saya,” demikian tutur Yudi Latif,”Politik
sebagai ajang peembelajaran.” Oleh karena itu dengan berpolitik harus
mendewasakan kita. Memang dalam kultur kita
posisi kekuatan oposisi kurang
dihargai. Bahkan seolah-olah dipandang remeh, Hal ini dikarenakan
minimnya pengetahua rakyat tentang
politik. Seandainya rakyat mau belajar dari negara-negara demokrasi di
dunia, misalnya di Amerika, kekuatan opossisi betul-betul sangat disegani dan
dihormati. Oleh karena itu proses pendidikan politik harus terus berlanjut agar
menyadarkan rakyat bahwa akan peran
penting posisi kekuatan oposisi. Ia melihat bahwa dengan jumlah golput yang
terus meningkat akan menjadi pressure
yang kuat.
Sementara itu Dr.Drajat Triarkoro, direktur lembaga
pengabdian masyarakat UNS, sstaf pengajar di Fisip UNS punya pendapat lain.
Beliau berpendapat bahwa dalam sistem demokrasi seperti sekarang ini golput
memang diharapkan tidak ada, tetapi karena adanya kesenjangan pada sebuah pilihan,
misalnya tidak ada calon yang dianggap ideal, maka keputusan tidak memilih merupakan hal yang logis logis saja. Golput memang ada karena ada yang
salah memilih (sehingga suaranya rusak)., dan ada pula yang karena sadar yang
kedua ini adalah indikator adanya kedewasaan berdemokrasi. Besarnya suara
golput tidak seharusnya dikhawatirkan. “Daripada memilih yang tidak berkualitas
maka saya sendiri juga tidak akan ikut memilih,”katanya.
Maka fenomena golput yang rasional ini dapat pula dijadikan
indikator akan adanya sesuatu yang tidak benar dalam mekanisme keterwakilan.
Memang kalau jumlahnya kecil dan tidak terorganisir memang sia-sia, tetapi kalau jumlahnya cukup besar (lebih 50%
misalnya) dan terorganisir itu merupakan
hal yang sangat signifikan sebagai
penekan pemerintah jadi mungkin pemilih itu memang harus dididik kalau tidak
ada calon yang layak. Golput adalah juga sebagai suatu pilihan, mereka harus
dididik untuk tetap ke TPS tetapi membiarkan kartu suara itu kosong saat dimasukkan dalam kotak kembali. Tetapi
setelah golput dan ada pemenang maka kita harus menghormati sang pemenang namun
untuk bertanggung jawab mendukung itu nanti dulu karena sedari awal kita memang
tidak memberi dukungan, hakikat suara itu kan dukungan.
Sementara itu Dadang Juliantara, mantan direktur LAPERA
Yoagyakarta berpendapat bahwa pilpres putaran kedua besok memang tidak ada
pilihan yang agak baik. Megawati memang tidak cocok jadi presiden, dia itu
cocoknya jadi anak presiden, selalu dilayani masyarakat, bukan melayani.
Sedangkan pilihan yang satunya sudah jelas tidak mungkin kita pilih. Kita sudah
kapok hidup di bawah represifitas rezim
militer, diskusi harus izin, pengajian diinteli, semua aktifitas terpasung dan
sewaktu-waktu bisa dibubarkan tentara dan aktivisnya dipenjarakan. Bagi aktivis
demokrasi dan kalangan intelektual serta
pers sosok dan background kehidupan SBY sudah sangat jelas sebagai musuh
masyarakat sipil dan musuh demokrasi. Tidak ada tentara yang pensiun apalagi
jenderalnya, dia secara administratif memang sudah sipil karena sudah pensiun,
tetapi jiwa dan ideologinya tetap seorang tentara.
Tetapi dengan kondisi saat ini golput dapat dikatakan
sebagai pilihan yang membahayakan masa
depan demokrasi karena sama artinya dengan memberi kesempatan status quo untuk
menang. Kalau urutan pemenang putaran I lalu seperti itu (SBY nomor satu) maka
SBY lagi yang akan memenangi putaran II yang berarti golput mempersilakan rezim
militer kembali berkuasa dan itu sangat jelas berbahaya.
Pendapat senada dikemukakan oleh Kuni Khairun Nisa’, Alumni
international Islamic University
Islamabad Pakistan. Putaran pilpres besok, menurut Kuni, hampir pasti ia akan golput. Ia akan
tetap mendatangi TPS hanya untuk menghanguskan suaranaya. Tindakan ini ia ambil
bukan karena ia tidak peduli dan tidak mau tahu pada masa depan negeri ini,
tetapi karena ia sangat peduli. Golput ini ia niatkan untuk memberi dukungan
moral dan mental kepada anggota parlemen dan kelompok lain yang memilih untuk
melakukan oposisi pada pemerintah yang
akan tepilih nanti. Dalam konteks insider dan outsider, opossisi ini dia kira
akan lebih elegan apabila sudah diniati sedari awal, dengan tidak mendukung
salah satu calon yang akan memenangi pemilihan jelas akan lebih mudah melakukan
kontrol pad apemerintah terpilih. Kalau ditanya mengapa harus golput ? Jawabnya
sudah sangat jelas, karena tidak ada pilihan yang layak, pada putaran I dulu itu ia sudah menurunkan
standar kelayakan ccapres sehingga dengan berbagai kompromi kecil ia bisa
menerima satu pasangan capres cawapres yang agak lumayan. Kalau sekarang
harus menurunkan standar lagi jelas
tidak mungkin.
Sementara itu Dr.Mujiono Abdillah staf pengajar pada
Fakultas Syariah IAIN Walisongo punya pendapat lain, dia berpendapat bahwa
Golput tetap bermanfaat yaitu sebagai koreksi dengan tidak memilih yang
tersedia. (karena tidak ada yang ideal)
itu adakah suatu sikap tetapi itu
jalanan karena tidak ada wadah. Namun kalau dimanaj dengan baik akan sangat
baik yaitu sebagai kelompok penekan.
Maka golput itu ada menfaat atau tidaknya tergantung pada follow upnya, kalau tidak ada tindak
lanjutnya untuk memanaj gerakan itu jelas sangat bermanfaat bagi sehatnya
demokrasi
Di kesempatan lain Sam Suharto, anggota pimpinan PWM Jawa
Timut punya pendapat yang optimistik. Demokrasi di Indonesia mengalami perubahan
yang signifikan dengan adanya banyak golput. Dan ini menyangkut rasionalitas
yang mulai dikedepankan serta politik aliran yang mulai ditinggalkan. Tetapi
kalau kita melakukan refleksi lebih jauh, delegitimasi para politisi oleh
rakyatlah yang menjadi dasarnya. Rakyat sekarang tidak mudah lagi percaya lagi pada politisi kita, karena dulunya meeka
sering menipu rakyat.
Konsekuensi masyarakat yang semakin kritis daalam demokrasi
ya seperti yang kita lihat :banyak yang menggunakan hak pilih, itu cerminan
realitas, mereka sudah menentikan mana
yang layak dipilih dan mana yang tidak layak. Sementara itu Dr Ahmad Jaenuri,
Direktur Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat Surabaya memiliki pendapat
yang agak moderat. Penyelenggaraan pemilu sudah bagus, tetapi secara khusus
pilpres kemarrin menunjukkan bahwa itu menunjukkan representasi semua orang,
meski kita harus menerimanya ssebagai hasil pemilu yang sah.
Tingginya jumlah
golput adalah fenomena. Dan itu sah-sah saja, karena yang terpenting
menggunakan atau tidak sebuah hak adalah sebagai sebuah pilihan. Bagi negara
maju seperti Amerika fase pemilihan yang minim pemilih adalah sesuatu yang
wajar.
Sementara itu MT Arifin , pengamat politik dan militer dari
Solo menekankan bahwa saat ini jelas kalau kelompok pro golput memang sangat
mengharap Muhammadiyah untuk golput, jelas kalau Muhammadiyah golput mereka akan senang sekali karena
Muhammadiyah itu organisasi yang besar dan gaungnya jelas akan sangat besar
sekali. Kalau Muhammadiyah golput mereka menang dan Muhammadiyah kalah. Karena
dalam konteks ini Muhammadiyah hanya dijadikan martir untuk kepentingan mereka.
Bahayanya dalam beberapa pergerakan Muhammadiyah – dan juga Pak Amien –
seringkali mudah terjebak untuk dijadikaan martir, dan bahkan bangga,
kelompok-kelompok kecil itu. Pahlawan kesiangan. Karena golput dijadikan sarana
untuk mengejar kepentingan pribadi.
Tapi bagaimanapun himbauan untuk tidak golput begitu gencar
rasanya pilpres putaran kedua nanti golputnya akan banyak. Selain
berasal dari mereka yang memang sudah sejak semula apatis dengan kegiatan
politik, kelompok kedua yaitu pendukung
mereka yang tersisih seperti pendukung Amien Rais dan Wiranto. Bagi mereka
pilihan yang disediakan., yakni SBY dan Megawati, bukan pilihan yang menarik,
kompeten, dan memenuhi aspirasi kebanyakan rakyat. Dan golput sebagai hak politik makin disadari banyak pihak dan
mungkin akan dipilih sebagai sebuah sikap dalam pilprs nanti. (Penulis :Nafi’,
bahan : Mu’arif, Is. Fiq)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004
No comments:
Write komentar